DEPOK, iNewsDepok.id - Tradisi nyadran dilakukan masyarakat Jawa di bulan Syaban, tepatnya menjelang Ramadhan. Tradisi ini sudah turun-temurun dilakukan, bahkan telah dilakukan orang-orang Jawa sebelum Islam masuk ke Indonesia.
Dulu, tradisi nyadran sudah dilakukan umat Hindu-Buddha. Pada masa Kerajaan Majapahit pada 1284 pelaksanaan seperti tradisi Nyadran disebut tradisi Craddha.
Dalam buku berjudul “Ensiklopedia Syirik dan Bid’ah” (Solo, Aqwam, 2012), Fahmi Suaidi dan Abu Aman menjelaskan di era Islam kegiatan ini biasanya diiringi dengan acara slametan dengan membuat makanan berupa ketan, kolak atau apem.
"Tradisi Nyadran sudah ada pada masa Hindu-Budha sebelum agama Islam masuk di Indonesia. Zaman kerajaan Majapahit tahun 1284 ada pelaksanaan seperti tradisi Nyadran yaitu tradisi craddha," tulisnya dalam buku tersebut, dikutip Senin (6/3/2023).
Adapun kesamaan antara tradisi nyadran dan craddha terletak pada kegiatan manusia dengan leluhur yang sudah meninggal seperti sesaji dan ritual sesembahan untuk penghormatan terhadap leluhur yang telah meninggal.
Lantas apa yang dimaksud dengan tradisi nyadran? Tradisi nyadran merupakan sebuah ritual berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa selamatan.
Dalam pelaksanaan tradisi nyadran di masa Hindu-Budha menggunakan puji-pujian dan sesaji sebagai perlengkapan ritualnya. Sementara pelaksanaan tradisi nyadran yang dilakukan di masa Walisongo diakulturasi dengan doa-doa dari Alquran.
Bila dalam masyarakat Jawa kuno meyakini bahwa leluhur yang sudah meninggal sejatinya masih ada dan mempengaruhi kehidupan anak cucu atau keturunannya.
Dengan adanya pengaruh agama Islam, maka makna nyadran mengalami pergeseran. Dari sekadar berdoa kepada Tuhan menjadi ritual pelaporan dan wujud penghargaan kepada bulan Sya’ban.
Editor : Kartika Indah Kusumawardhani