JAKARTA, iNewsDepok.id - Direktur Eksekutif Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3I) Tomu Augustinus Pasaribu menyarankan rakyat agar mengadakan rapat atau pertemuan karena DPR dinilai telah mengkhianati Pancasila dan UUD 1945.
Pertemuan itu diusulkan karena tidak aturan yang dapat menjerat DPR secara kelembagaan, meski telah mengkhianati Pancasila dan UUD 1945.
"Akhir-akhir ini DPR acap kali berkhianat terhadap Pancasila dan UUD 1945 secara berjamaah, dan hal itu ternyata disebabkan karena tidak ada pasal dalam UUD 1945 yang mengatur sanksi apabila DPR melakukan penghianatan terhadap ideologi bangsa dan konstitusi negara tersebut," kata aktivis yang akrab disapa Tom tersebut melalui pesan WhatsApp, Jumat (15/7/2022).
Aktivis senior di Jakarta itu membeberkan bentuk pengkhianatan yang telah dilakukan DPR. Di antaranya adalah dalam seleksi anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebab, meski pasal 23E ayat (1) UUD 1945 menetapkan bahwa BPK bersifat bebas dan mandiri, akan tetapi enam dari sembilan figur yang dipilih DPR untuk menduduki jabatan sebagai anggota BPK adalah kader Parpol.
Selain itu, kata Tom, DPR juga telah melanggar UUD 1945 dan Pancasila dengan mengesahkan UU Cipta Kerja.
Tom menyebut, dalam UUD 1945, sanksi terhadap DPR hanya mengenai anggotanya, bukan lembaganya. Aturan tersebut tertuang pada pasal 22B UUD 1945 yang berbunyi; "Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang".
Tom pun mempertanyakan, dengan aturan yang seperti itu, apa yang harus diperbuat rakyat sebagai pemilik kedaulatan, untuk menyelamatkan hak konstitusionalnya yang diserahkan pada saat Pemilu? Sementara DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat yang seharusnya bertugas untuk mewujudkan tujuan rakyat membentuk pemerintah negara sebagaimana tercantum pada alinea keempat UUD 1945, dan sebagai lembaga yang mengontrol jalannya roda pemerintahan, justru saat ini sudah secara terang-terangan berani membuat aturan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
"Sepertinya rakyat sudah perlu mengulang atau merubah kesepakatan yang telah dibuat, agar rakyat tidak menjadi korban atau budak. Rakyat sudah semestinya melakukan rapat atau pertemuan untuk membahas tujuan pendirian NKRI sebagaimana tercantum pada alinea keempat UUD 1945 agar ada kepastian dan kejelasan," katanya
Tom menilai, momen tersebut dapat dilakukan pada tahun 2024 sebagai pengganti Pemilu, daripada melaksanakan Pemilu yang hanya untuk memenuhi kepentingan 100 ribu orang, sementara kepentingan rakyat yang seharusnya diurus kurang lebih 270 juta jiwa.
"Dengan demikian sudah saatnya rakyat mengambil alih dan mengatur ulang tata cara, serta membentuk pemerintahan yang baru, yang benar-benar fokus bekerja untuk mewujudkan cita-cita seluruh rakyat indonesia," tegasnya.
Tom menegaskan bahwa saat ini Indonesia sedang tidak baik-baik, dan dalam posisi ketidakpastian, sehingga tidak menutup kemungkinan Indonesia akan mengalami krisis atau bahkan bangkrut akibat pengelolaan negara yang ugal-ugalan, yang ditandai oleh maraknya korupsi, mark up anggaran, dan praktik monopoli yang merongrong keuangan negara.
"Saat ini tidak ada lagi lembaga negara yang terbebas dari korupsi, baik istana presiden, DPR, lembaga hukum, dan semua lembaga negara. Virus korupsi lebih ganas dan mematikan di era reformasi ini dibanding saat Orde Baru. Penegakkan hukum pun tidak berkeadilan, sementara persatuan dan kesatuan terancam," tegasnya.
Seperti diketahui, saat ini kinerja DPR memang sedang dalam sorotan tajam masyarakat karena sebagai lembaga pengawas kinerja pemerintah, DPR justru terkesan telah berperan sebagai kolaborator pemerintah, sehingga persis seperti DPR di era Orde Baru yang dicap sebagai tukang stempel kebijakan pemerintah, DPR menyetujui dan mendukung apapun kebijakan pemerintah, meski rakyat menentang. Pengesahan UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan UU KPK merupakan beberapa contoh di antaranya
Kondisi ini terjadi karena dari sembilan fraksi di DPR, fraksi yang oposisi hanya PKS dan Demokrat, sehingga setiap DPR mengambil keputusan, terutama ketika menggunakan mekanisme voting saat sidang paripurna, tujuh fraksi yang merupakan koalisi pendukung pemerintah, selalu menang. Saat pengesahan UU Cipta Kerja misalnya, hanya PKS dan Demokrat yang menolak, sementara tujuh fraksi yang lain, antara lain PDIP, Golkar, NasDem, dan PPP, menerima.
Editor : Rohman