Menurut Rully, satu faktor lain yang mendasari optimisme tersebut didasari oleh prediksi belanja pemerintahan yang lebih fokus menjaga stabilitas makroekonomi. Rully juga mencatat terdapat beberapa risiko yang juga dapat memengaruhi kondisi ekonomi Indonesia. Beberapa faktor tersebut adalah kondisi geopolitik yang masih penuh dengan ketidakpastian.
Faktor risiko tersebut adalah potensi penurunan harga komoditas karena prediksi perlambatan ekonomi di Cina dan tingkat global, inflasi AS yang dapat lebih tinggi daripada ekspektasi, serta berlanjutnya ketidakpastian ekonomi akibat pemilu.
Ke depannya, tutur Rully, momentum politik lain yang masing ditunggu publik adalah ketika pembentukan kabinet yang akan menunjuk menteri-menteri dan pejabat negara lainnya.
Robertus Hardy, Head of Research Team Mirae Asset, menambahkan bahwa secara historis di tengah potensi penurunan suku bunga acuan domestik, beberapa sektor yaitu barang konsumsi (siklikal dan non-siklikal), dan keuangan, akan berkinerja lebih tinggi dibandingkan dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
“Kami meyakini situasi ketika Bank Indonesia berpotensi melonggarkan kebijakan moneternya seperti sekarang, mirip dengan pasca krisis finansial global 2008 dan pandemi Covid-19 pada 2020,” ucapnya.
Di antara kedua periode tersebut, ketiga di atas mampu membukukan kinerja positif yang konsisten dan signifikan. Dari sektor barang konsumsi non-siklikal beberapa saham di antaranya adalah UNVR, ICBP, MYOR, AMRT, dari sektor barang konsumsi siklikal ada ACES dan MAPI, serta dari sektor keuangan ada BBRI, BBCA, BMRI, dan BBNI.
Dengan pertimbangan sektor-sektor tersebut dan dengan pertimbangan kinerja operasional dan finansial yang solid, Robert mengatakan pilihan saham (stockpick) masih pada BBCA, BBRI, HOKI, AMRT, ACES, MAPI, TLKM, ISAT, dan ASII.
Prediksi nilai wajar IHSG juga masih ditetapkan pada 8.100 untuk tahun ini yang mencerminkan valuasi 14x P/E ratio dengan prediksi pertumbuhan laba per saham (EPS) 5%-6%.
Editor : Mahfud
Artikel Terkait