JAKARTA, iNews.id - Warga Desa Bojong Koneng, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dengan didampingi tim kuasa hukumnya, Rabu (18/1/2022), mengadu ke Komisi III DPR RI karena lahannya diduga diserobot PT Sentul City.
Dalam rapat dengar pendapat untuk membahas pengaduan tersebut yang digelar di ruang rapat Komisi III DPR, Senayan, Jakarta, salah satu kuasa hukum warga Bojong Koneng, Hendarsam Marantoko, mengatakan kalau perusahaan pengembang properti itu telah melakukan sejumlah pelanggaran.
Menurut dia, saat ini PT Sentul City menguasai kurang lebih 4.100 hektare tanah di Desa Bojong Koneng, yang sebagian di antaranya hak milik warga, tepatnya yang berada di Blok Lapangan Tembak dengan luar sekitar 15 hektare.
"Lahan hak milik belasan KK (kepala keluarga) yang dikuasakan kepada kami itu didapatkan berdasarkan oper alih tahun 1999. Itu asalnya dari girik di tahun 1979 atas nama Pak Sutomo. Sejak tahun 1999, klien kami menggarap laham itu dan taat membayar pajaknya hingga har ini," kata dia.
Hendarsam menjelaskan, sengketa dengan PT Sentul City muncul karena tanah milik warga Bojong Koneng diakui sebagai milik perusahaan itu. Padahal, tanah tersebut tidak pernah ditanami karet, dan sudah digarap masyarakat sejak 1942.
"Sudah ada surat keterangan tahun 1990 dari PTPN XI bahwa tanah garapan di lapangan tembak tidak termasuk dari SHGU PTPN XI. Ini kaitannya, karena HGB PT Sentul City didapatkan dari HGU PTP XI. Yang jadi pertanyaan kami; kenapa kok ternyata tanah klien kami yang tidak termasuk dalam wilayah area PTPN, masuk dalam sertifikat tersebut? Kami duga ada cacat hukum. Patut diduga ada kolusi dalam penerbitan sertifikat HGB tersebut. Itu masalah hukumnya, Pak," beber dia.
Herdarsam juga memberitahu kalau sengketa itu membuat warga digusur PT Sentul City secara sepihak, sehingga ribuan masyarakat jadi korban.
"Blok Lapangan Tembak sekarang hampir rata tanah. Jadi, tidak ada peringatan, somasi, tidak ada surat perintah atau penetapan dari pengadilan untuk penggusuran tersebut," katanya.
Hendarsam menyebut, ada beberapa pelanggaran yang dilakukan PT Sentul City selama sengketa berlangsung, yakni tindak pidana perusakan dan memasuki lahan tanpa izin, penggusuran secara sepihak, pencurian tanaman warga, hingga pengancaman terhadap warga.
"Yang paling penting, ketika warga ingin melakukan perlawanan, artinya mempertahankan tanahnya, mereka dilaporkan ke kepolisian dan diproses, karena dasarnya Sentul City punya sertifikat, sementara warga tidak ada alas hak. Akhirnya, warga diancam untuk ditindak secara pidana, bahkan beberapa ada yang dipenjara," imbuhnya.
Kuasa hukum warga Bojong Koneng yang lain menyebut, ada 14.526 jiwa yang berada di tanah yang diklaim PT Sentul City.
"Yang mau kita tambahkan, kita tahu Bojong Koneng itu adalah sebuah desa yang terletak di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Di sana terdiri dari 15 RW, 46 RT dan 5 dusun. Berdasarkan sensus terakhir, masyarakat di sana ada 14.562 jiwa pada tahun 2020. Hal yang menggambarkan ada kehidupan di sana, ada masyarakat di sana," katanya.
Dia menyeaalkan karena meski Menteri Pertahanan Prabowo Subianto juga tinggal di Bojong Koneng, akan tetapi hingga kini sama sekali belum ada perhatian yang diberikan.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra, Habiburokhman, membenarkan kalau Prabowo tinggal di Bojong Koneng.
"Karena itu saya yang paling merasa bertanggung jawab mendengar aspirasi kawan-kawan Bojong Koneng ini," katanya.
Habiburrokhman mengaku menyayangkan karena investasi yang dilakukan PT Sentul City harusnya bermanfaat bagi masyarakat, akan tetapi berdasarkan penjelasan warga Bojong Koneng, yang dilakukan Sentul City justru sebaliknya.
"Investasi apapun, apalagi perumahan, tidak boleh merusak kehidupan di sana, apalagi sampai melakukan perampasan tanah, ada tindakan-tindakan yang disebut melanggar hukum, tentu itu bertentangan dengan semangat investasi sebagaimana diatur UU. Dari situ saja garis besar bisa kita persoalkan Sentul City," ujarnya.
Wakil Ketua Umum Gerindra ini lantas menyarankan agar dilakukan audit kepada PT Sentul City berkaitan dengan HGB yang dimilikinya. Terlebih, jika HGB itu diambil dari HGU PTPN.
"Dikatakan HGB diambil dari HGU PTPN. Kita harus audit ini, cek lagi, apa sesuai benar dengan ketentuan hukum dari HGU ke HGB," imbuhnya.
Editor : Rohman
Artikel Terkait