Lebih lanjut Rusdianto mengatakan, penandatanganan perjanjian pembelian nikel tersebut telah dilakukan jauh sebelum adanya proses pidana dan sebagai pembeli PT BDR wajib melakukan pembayaran.
"Iya betul sebelum proses pidana, kan ini kelihatan polisi dengan suratnya itu kelihatan justru dia lebih bersemangat daripada pihak yang berpersoalan. Polisi punya kepentingan yang sangat kuat di dalam perkara ini. Apa itu? Saya katakan dalam bentuk negatif," ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, pakar Hukum Pidana Universitas Gajah Mada (UGM) Muhammad Fatahillah Akbar menilai jika hak keperdataan seseorang tak hilang meskipun sedang diproses pidana.
"Hak keperdataan itu tidak hilang dalam proses pidana. Bahkan pencabutan hak, hanya dapat diputus oleh pengadilan sebagai pidana tambahan," jelas Akbar.
Akbar menjelaskan, dalam proses sidik oleh pihak kepolisian, pembatasan hak hanya bisa melalui upaya paksa seperti penyitaan. Namun, kata Akbar, jika suatu harta sah seperti pembayaran, maka tidak dapat dibatasi karena bukan masuk ke dalam harta yang dapat disita.
"Kecuali memang harta tersebut merupakan hasil dari kejahatan," lanjutnya.
Akbar juga menambahkan bahwa pihak kepolisian tak memiliki kewenangan untuk melarang pihak pembeli melakukan pembayaran yang sudah menandatangani kontrak bisnis, meskipun pihak pertama sedang menjalani situasi kasus pidana.
Terlebih, kerja sama kontrak tersebut dilakukan sebelum terjadinya penyelidikan kasus pidana. Oleh karena itu, menurut Akbar, upaya paksa yang dilakukan oleh pihak kepolisian tak memiliki dasar hukum.
"Kalau (penyalahgunaan kewenangan) itu harus penilaian lebih lanjut, intinya upaya paksa tersebut tidak ada dasar hukumnya," ujarnya.
Editor : Kartika Indah Kusumawardhani
Artikel Terkait