Larang PT BDR Bayar Pembelian Nikel, Kuasa Hukum HH Sebut Dugaan Aparat Menyalahgunakan Wewenang

Kartika
Ilustrasi nikel. Foto: Ist

JAKARTA, iNewsDepok.id - Kuasa Hukum Helmut Hermawan (HH), Rusdianto Matulatuwa mengungkapkan dugaan aparat kepolisian di Luwu Timur menyalahgunakan wewenang. Pasalnya, adanya surat yang ditujukan kepada PT Bintang Delapan Resources (BDR) agar menangguhkan pembayaran terhadap nikel yang telah dikirimkan PT Citra Lampia Mandiri (CLM) semasa masih di bawah kepemimpinan Helmut.

Menurut Rusdianto, surat bernomor B/1197/XI/RES.1.8./2022 tertanggal 16 November 2022 yang diterbitkan Kapolres Luwu Timur AKBP Silvester Simamora itu,  diduga menjadi bagian dari kepentingan terselubung kepolisian dalam kisruh perebutan kepemimpinan perusahaan tambang PT CLM.

Rusdianto mengatakan polisi sudah bertindak terlalu berlebihan dengan munculnya surat tersebut, karena soal bayar-membayar dalam perkara ini, bukanlah urusan kepolisian.

Polres Luwu Timur, ucap Rusdianto, dinilai telah menyalahgunakan kewenangan dengan turut campur dalam masalah perdata antara dua pihak yaitu Helmut Hermawan dan Zainal Abidin Siregar terkait dengan PT CLM.

"Apa yang dilakukan kepolisian, saya anggap itu sangat berlebihan. Perkara bayar-membayar itu soal keperdataan murni, sementara pihak kepolisian sebagai aparatur hukum tugasnya hanya menjaga keamanan dan pengayoman. Kemunculan surat ini sudah jauh di luar kewenangannya dan justru mempertegas terjadinya keberpihakan di antara dua pihak yang sedang bersengketa ini," kata Rusdi di Jakarta, pada Jumat (31/3/2023).

Lebih lanjut Rusdianto mengatakan, penandatanganan perjanjian pembelian nikel tersebut telah dilakukan jauh sebelum adanya proses pidana dan sebagai pembeli PT BDR wajib melakukan pembayaran.

"Iya betul sebelum proses pidana, kan ini kelihatan polisi dengan suratnya itu kelihatan justru dia lebih bersemangat daripada pihak yang berpersoalan. Polisi punya kepentingan yang sangat kuat di dalam perkara ini. Apa itu? Saya katakan dalam bentuk negatif," ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, pakar Hukum Pidana Universitas Gajah Mada (UGM) Muhammad Fatahillah Akbar menilai jika hak keperdataan seseorang tak hilang meskipun sedang diproses pidana.

"Hak keperdataan itu tidak hilang dalam proses pidana. Bahkan pencabutan hak, hanya dapat diputus oleh pengadilan sebagai pidana tambahan," jelas Akbar.

Akbar menjelaskan, dalam proses sidik oleh pihak kepolisian, pembatasan hak hanya bisa melalui upaya paksa seperti penyitaan. Namun, kata Akbar, jika suatu harta sah seperti pembayaran, maka tidak dapat dibatasi karena bukan masuk ke dalam harta yang dapat disita.

"Kecuali memang harta tersebut merupakan hasil dari kejahatan," lanjutnya.

Akbar juga menambahkan bahwa pihak kepolisian tak memiliki kewenangan untuk melarang pihak pembeli melakukan pembayaran yang sudah menandatangani kontrak bisnis, meskipun pihak pertama sedang menjalani situasi kasus pidana.

Terlebih, kerja sama kontrak tersebut dilakukan sebelum terjadinya penyelidikan kasus pidana. Oleh karena itu, menurut Akbar, upaya paksa yang dilakukan oleh pihak kepolisian tak memiliki dasar hukum.

"Kalau (penyalahgunaan kewenangan) itu harus penilaian lebih lanjut, intinya upaya paksa tersebut tidak ada dasar hukumnya," ujarnya.

Editor : Kartika Indah Kusumawardhani

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network