Green Deal Eropa dan Bayang-Bayang Neo-Kolonialisme Baru
Di sisi lain, ancaman ini juga bisa menjadi peluang. Tekanan dari Eropa bisa dijadikan pemicu untuk melakukan reformasi energi dan industri secara menyeluruh. Kita bisa mempercepat pengembangan energi terbarukan, membangun industri hijau berbasis nikel dan litium, serta meningkatkan standar produksi nasional.
Tapi untuk itu, kita butuh lebih dari sekadar respons teknokratis. Kita butuh diplomasi hijau yang cerdas yang bukan hanya menerima perintah dari global north, tapi juga memperjuangkan keadilan iklim secara setara.
Di forum seperti G20, ASEAN, atau UNFCCC, Indonesia harus lebih aktif menyuarakan bahwa transisi global harus adil, tidak memiskinkan negara berkembang, dan tidak mengulang struktur ketimpangan kolonial dalam versi ramah lingkungan.
Green Deal Eropa memang bisa menjadi contoh tapi bukan tanpa kritik. Kita bisa belajar dari semangatnya, tetapi juga harus waspada terhadap implikasi tersembunyinya.
Karena dalam sejarah panjang hubungan utara-selatan, tak ada ide yang sepenuhnya netral. Bahkan ide tentang “menyelamatkan bumi” pun bisa dibungkus dengan kepentingan geopolitik dan ekonomi.
Pada akhirnya, dunia tidak hanya membutuhkan kebijakan hijau. Dunia membutuhkan kebijakan hijau yang adil yang tidak hanya mengurangi emisi, tapi juga mengurangi ketimpangan. Karena menyelamatkan bumi bukan hanya soal mengubah teknologi, tapi juga soal mengubah struktur ketidakadilan global yang selama ini menjadi akar dari krisis ekologis.
Dan jika Eropa benar-benar ingin memimpin dalam isu ini, maka langkah pertama yang harus mereka ambil adalah: mendengar. Mendengar suara dari selatan global. Mendengar kebutuhan dan realitas negara-negara yang tak punya kemewahan untuk transisi cepat. Dan menghentikan narasi bahwa hanya mereka yang tahu cara menyelamatkan dunia.
Dalam perang melawan krisis iklim, kita tidak butuh pahlawan. Kita butuh kerja sama. Kita butuh empati. Dan yang paling penting: kita butuh dunia yang adil di mana hijau tidak menjadi dalih untuk menekan, tapi menjadi jalan untuk tumbuh bersama.
Editor : M Mahfud