Green Deal Eropa dan Bayang-Bayang Neo-Kolonialisme Baru
Oleh: Khairun Nisa Pulungan
Uni Eropa sedang membangun dunia baru, dunia yang lebih hijau, lebih bersih, dan lebih ramah lingkungan. Itu adalah janji yang tertulis dalam European Green Deal, kebijakan ambisius yang diluncurkan pada 2019.
Target utamanya tampak mulia: menjadikan Eropa sebagai kawasan netral karbon pada tahun 2050, melalui transisi energi bersih, efisiensi industri, dan pelestarian alam.
Tetapi seperti banyak proyek utopis lainnya, ambisi ini menyimpan paradoks. Di satu sisi, Green Deal adalah langkah maju dalam menghadapi krisis iklim.
Di sisi lain, ia memperlihatkan bagaimana negara-negara maju bisa memakai isu lingkungan sebagai instrumen kekuasaan baru yang menciptakan ketimpangan struktural atas nama "penyelamatan bumi".
Salah satu bukti paling nyata dari paradoks itu adalah kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yaitu sebuah mekanisme yang akan mengenakan tarif karbon pada barang-barang impor dari negara-negara yang dianggap belum menerapkan kebijakan lingkungan seketat Eropa.
Target awalnya meliputi baja, semen, pupuk, aluminium, dan listrik serta produk-produk penting yang banyak dihasilkan oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Sekilas CBAM Tampak Logis.
Kalau Eropa membatasi emisi karbon di dalam negerinya, maka masuk akal untuk mencegah perusahaan asing mengimpor barang murah yang diproduksi dengan proses “kotor”. Ini demi mencegah yang disebut carbon leakage yaitu situasi ketika perusahaan hanya memindahkan polusi ke negara lain demi menghindari aturan yang ketat.
Tapi mari kita lihat dari sudut pandang lain. Apakah adil jika negara-negara seperti Indonesia, Vietnam, atau Kenya yang masih dalam tahap membangun infrastruktur dasar harus langsung mengikuti standar tinggi negara-negara maju?
Apakah Eropa siap membantu proses transisi energi di negara-negara ini? Atau, lebih tepatnya, apakah Eropa hanya ingin mempertahankan keunggulan industrinya lewat tarif hijau?
Pertanyaan-pertanyaan ini penting, karena Green Deal tak hanya menyangkut urusan lingkungan, tetapi juga urusan ekonomi, politik, dan bahkan moral.
Banyak kalangan menyebut ini sebagai bentuk baru dari neo-kolonialisme. Dulu, kolonialisme berlangsung lewat penjajahan langsung. Kini, ia muncul lewat mekanisme dagang, standar internasional, dan regulasi lingkungan yang hanya bisa dipenuhi oleh segelintir negara kaya.
Ambisi Eropa dalam Green Deal seharusnya tidak berdiri sendiri. Dunia berkembang berhak menuntut transfer teknologi, investasi hijau, dan kompensasi iklim yang adil. Jika tidak, kebijakan seperti CBAM justru akan memperdalam ketimpangan global.
Negara berkembang akan kesulitan mengekspor produknya, kehilangan daya saing, dan akhirnya dipaksa menanggung biaya transisi energi sendirian, sementara negara maju tetap nyaman dalam posisi dominan.
Realitas ini diperparah oleh fakta bahwa krisis iklim sendiri dipicu oleh sejarah panjang industrialisasi Barat. Negara-negara seperti Inggris, Jerman, dan Prancis telah menghasilkan emisi besar sejak abad ke-18. Mereka kini menyuruh negara-negara Global South untuk berhemat karbon, sementara jejak historis mereka sendiri masih meninggalkan luka ekologis.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Sebagai salah satu pengekspor utama batu bara, nikel, kelapa sawit, dan produk pertanian lainnya, Indonesia tentu akan terdampak langsung oleh CBAM dan kebijakan Green Deal lainnya.
Ekspor ke Eropa bisa terhambat jika tidak memenuhi standar emisi. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menurunkan pendapatan negara, memukul industri dalam negeri, dan memperburuk kesenjangan sosial terutama di daerah yang bergantung pada sektor-sektor tersebut.
Kita juga menghadapi dilema besar: antara memenuhi tuntutan global untuk lebih hijau, atau mempertahankan pertumbuhan ekonomi dengan cara lama. Transisi energi memang penting, tapi tidak bisa instan. Infrastruktur, teknologi, dan SDM kita belum sepenuhnya siap.
Kalau kita dipaksa terburu-buru oleh tekanan eksternal, hasilnya justru bisa merusak perekonomian nasional dan memperparah ketimpangan domestik.
Di sisi lain, ancaman ini juga bisa menjadi peluang. Tekanan dari Eropa bisa dijadikan pemicu untuk melakukan reformasi energi dan industri secara menyeluruh. Kita bisa mempercepat pengembangan energi terbarukan, membangun industri hijau berbasis nikel dan litium, serta meningkatkan standar produksi nasional.
Tapi untuk itu, kita butuh lebih dari sekadar respons teknokratis. Kita butuh diplomasi hijau yang cerdas yang bukan hanya menerima perintah dari global north, tapi juga memperjuangkan keadilan iklim secara setara.
Di forum seperti G20, ASEAN, atau UNFCCC, Indonesia harus lebih aktif menyuarakan bahwa transisi global harus adil, tidak memiskinkan negara berkembang, dan tidak mengulang struktur ketimpangan kolonial dalam versi ramah lingkungan.
Green Deal Eropa memang bisa menjadi contoh tapi bukan tanpa kritik. Kita bisa belajar dari semangatnya, tetapi juga harus waspada terhadap implikasi tersembunyinya.
Karena dalam sejarah panjang hubungan utara-selatan, tak ada ide yang sepenuhnya netral. Bahkan ide tentang “menyelamatkan bumi” pun bisa dibungkus dengan kepentingan geopolitik dan ekonomi.
Pada akhirnya, dunia tidak hanya membutuhkan kebijakan hijau. Dunia membutuhkan kebijakan hijau yang adil yang tidak hanya mengurangi emisi, tapi juga mengurangi ketimpangan. Karena menyelamatkan bumi bukan hanya soal mengubah teknologi, tapi juga soal mengubah struktur ketidakadilan global yang selama ini menjadi akar dari krisis ekologis.
Dan jika Eropa benar-benar ingin memimpin dalam isu ini, maka langkah pertama yang harus mereka ambil adalah: mendengar. Mendengar suara dari selatan global. Mendengar kebutuhan dan realitas negara-negara yang tak punya kemewahan untuk transisi cepat. Dan menghentikan narasi bahwa hanya mereka yang tahu cara menyelamatkan dunia.
Dalam perang melawan krisis iklim, kita tidak butuh pahlawan. Kita butuh kerja sama. Kita butuh empati. Dan yang paling penting: kita butuh dunia yang adil di mana hijau tidak menjadi dalih untuk menekan, tapi menjadi jalan untuk tumbuh bersama.
Editor : M Mahfud