Tapi, kata mereka, para elite partai DPR terus memperluas dukungan agar bisa mengubah konstitusionalitas Pemilu berkala dan pembatasan masa jabatan presiden.
Pasal 37 ayat (1) dan (3) UUD NRI 1945 bertuliskan, usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3, sedangkan mengubahnya sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
PKB, Golkar, dan PAN hanya membutuhkan satu atau dua partai lagi untuk mengusulkan amendemen konstitusi bersama DPD, lalu koalisi DPR yang amat besar pendukung pemerintahan Presiden Jokowi, lebih dari cukup untuk melancarkan amendemen.
Namun, kata koalisi lagi, amandemen itu akal-akalan belaka karena sangat bertentangan dengan konstitusionalisme pembatasan kekuasaan melalui limitasi masa jabatan yang lahir dari sejarah perjalanan bangsa dan merupakan amanat reformasi.
"Jika para elite politik berhasil mewujudkan itu, maka Indonesia melanggar prinsip-prinsip universal negara demokrasi. Pasal 25 (b) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) bertuliskan: To vote and to be elected at genuine periodic elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by secret ballot, guaranteeing the free expression of the will of the electors. Kemutlakan aspek pemilu berkala ini pun ditegaskan oleh International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) dalam rumusan “International Obligations for Elections” sebagai panduan kerangka hukum pemilu bagi negara demokrasi," katanya.
Koalisi juga mengatakan, menunda Pemilu 2024 dan memperpanjang jabatan presiden pun membuat Indonesia melanggar prinsip pemerintahan presidensial.
Sebagai bagian dari sistem politik hasil Reformasi, katanya, sistem presidensial punya dua perbedaan mendasar dengan sistem parlementer. Pertama, pemerintahan yang terpisah dari parlemen. Kedua, presiden sebagai kepala pemerintahan punya masa jabatan yang tetap dan dibatasi oleh pemilihan langsung oleh rakyat secara berkala.
"Alasan ekonomi pada konteks Covid-19 pun bertentangan dengan praktik pemerintahan sebelumnya. Pada Pilkada 2020, korban infeksi dan nyawa dari wabah korona ada dalam keadaan puncak. Para akademisi lintas bidang, tenaga medis, NGO, Ormas keagamaan lintas iman, dan mahasiswa, meminta penundaan Pilkada 2020. Keadaan ekonomi warga dan APBN/D dalam keadaan buruk karena terdampak Covid-19, tapi pemerintah dan DPR tetap melanjutkan Pilkada 2020," jelasnya.
Semua itu, menurut koalisi, menjelaskan bahwa penundaan Pemilu 2024 menyerta perpanjangan masa jabatan presiden, melanggar aspek hukum, politik, dan ekonomi. Sama halnya dengan kelanjutan Pilkada 2020, menunda Pemilu 2024 merupakan wujud penyelenggaraan negara yang berdasar pada kepentingan politik elite untuk mempertahankan bahkan memperluas kekuasaannya.
"Penting bagi kita sebagai warga negara untuk menolak penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden. Atas nama negara hukum, politik demokratis, dan keberdayaan ekonomi: tolak penundaan Pemilu 2024!" tegas koalisi.
Berikut ke 13 inisiator petisi #TolakPenundaanPemilu2024:
- Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia,
- Indonesia Corruption Watch (ICW),
- Indonesian Parliamentary Center (IPC),
- Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI),
- Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR),
- Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP),
- Komite Independen Sadar Pemilu (KISP),
- Komite Pemantau Legislatif (KOPEL),
- Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif,
- Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT),
- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem),
- Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK),
- Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum,
- Universitas Andalas
Editor : Rohman