JAKARTA, iNewsDepok.id- Benarkah penyumbang pengangguran terbesar lulusan SMK? Untuk menjawan hal ini maka perlu data yang lengkap dan akurat.
Dalam 10 tahun terakhir data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa penyumbang pengangguran terbesar di Indonesia adalah lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yang seharusnya menghasilkan lulusan siap kerja.
Berdasarkan data BPS dari Februari 2024, tingkat pengangguran dari SMK yakni sebesar 8,62 persen, SMA 6,73 persen, D4-S3 sebesar 5,63 persen, D1-D3 sebesar 4,87 persen, SMP 4,28 persen, SD 2,38 persen.
Tak hanya itu, data BPS terbaru juga menyebutkan bahwa 9.9 juta Gen Z menganggur, tidak bekerja dan tidak sedang menempuh pendidikan. Lalu apakah kualifikasi lulusan pendidikan vokasi kita sudah sesuai dengan kebutuhan dunia kerja?
Padahal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendapatkan pagu anggaran 2025 yang telah disepakati DPR RI sebesar Rp108 triliun. Dari anggaran Rp108 triliun tersebut, akan mengalir ke Program Pendidikan dan Pelatihan Vokasi sebesar Rp3.748.514.146.
Perlu diketahui, Presiden Joko Widodo telah mencanangkan penguatan pendidikan vokasi sejak awal periode dengan menerbitkan Perpres 68 tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan dan Pelatihan Vokasi, sebagai kebijakan dan tentunya dukungan anggaran untuk menghasilkan generasi muda Indonesia yang terampil dan siap menyongsong visi dan misi Indonesia Emas 2045, namun hasilnya masih jauh dari harapan.
Menanggapi hal ini, pengamat pendidikan vokasi, Farkhan mengatakan, banyaknya lulusan SMK dan gen Z yang menganggur tidak sepenuhnya kesalahan dari Kemendikbudristek.
Farkhan mengatakan, stigma bahwa lulusan SMK sebagai kontributor pengangguran terbesar berdasarkan data statistik ketenagakerjaan 10 tahun terakhir memang benar, namun jika disandingkan dengan data jumlah Gen Z yang menganggur pada rentang usia 15 – 24 tahun sebesar 16,42 persen, menunjukkan bahwa mereka adalah angkatan kerja dengan kemungkinan lulusan SMP hingga lulusan sarjana, yang secara statistik memang populasi pendidikan menengah SMA/SMK adalah terbesar proporsinya.
“Hal ini juga membuktikan program wajib belajar 12 tahun pemerintah cukup berhasil menurunkan angka putus sekolah khususnya di tingkat dasar hingga menengah,” katanya saat ditemui di kawasan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (24/6/2024).
Farkhan juga menjelaskan, jumlah peserta didik dan lulusan SMA sedikit lebih banyak ketimbang SMK, namun sebagian besar lulusan SMA terserap di perguruan tinggi, dan sisanya masuk ke pasar kerja.
“Renstra Direktorat Jenderal Vokasi 2020 – 2024 menyebutkan bahwa proporsi melanjutkan pendidikan tinggi bagi lulusan SMK masih sangat rendah jika dibandingkan dengan lulusan SMA,” ucap anggota Forum Pengarah Vokasi Kemendikbudristek ini.
”Tentu jumlah ini sangat jauh dibandingkan lulusan SMA yang melanjutkan, sehingga sebagian besar lulusan SMK akan memasuki pasar tenaga kerja, menyebabkan lulusan SMK menjadi kontributor terbesar pengangguran di Indonesia, karena populasi yang masuk pasar kerja memang paling banyak.Justru yang penting disikapi adalah terjadinya ‘mismatch’ antara kualifikasi lulusan dengan kebutuhan dunia kerja,” ucap pria yang saat ini menjabat sebagai Direktur Politeknik Digital Boash Indonesia.
Farkhan juga menerangkan berdasarkan data Sakernas BPS 2023 bahwa 29,36 persen mayoritas lapangan pekerjaan di Indonesia didominasi oleh sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan. Namun kenyataannya berdasarkan data Dapodik, jumlah siswa SMK terbanyak saat ini justru di bidang keahlian TIK, disusul Teknologi dan Rekayasa, dan Bisnis Manajemen dengan total persentase 80 persen. Sedangkan SMK di bidang keahlian Agribisnis dan Agroteknologi yang mewadahi kompetensi keahlian Pertanian jumlah siswanya hanya sekitar 4 persen saja.
“Hal ini tentu menggambarkan terjadinya permasalahan pada perencanaan dan pemetaan supply vs demand. Seharusnya buka/tutup kompetensi keahlian di SMK adalah hal yang wajar terjadi di SMK mengikuti dinamika pasar kerja,” tutur pria yang juga anggota dari Worldskills Indonesia ini.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta