JAKARTA, iNewsDepok.id - Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura ini merupakan perjanjian ekstradisi yang ke 12 yang telah diberlakukan pemerintah Indonesia setelah Malaysia, Filipina, Thailand, Australia, Hongkong SAR, Republik Korea, Republik Rakyat Tiongkok, India, Papua Nugini, Vietnam, Persatuan Emirat Arab dan Iran.
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura memberlakukan secara efektif perjanjian tentang ekstradisi buronan pada tanggal 21 Maret 2024. Perjanjian yang ditandatangani di Bintan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Yasonna H Laoly pada tanggal 25 Januari 2022 tersebut telah diratifikasi melalui Undang – undang Nomor 5 Tahun 2023 tentang Pengesahan Perjanjian Antara Pemerintah Rebuplik Indonesia dan Pemerintah Rebuplik Singapura tentang Ekstradisi Buronan (Treaty between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic Singapore for Extradition of Fugitives).
"Perjanjian ekstradisi Indonesia – Singapura ini merupakan capaian kerja sama di bidang hukum yang luar biasa dan menjadi sejarah keberhasilan diplomasi yang sangat penting mengingat Singapura sebelumnya hanya memiliki kerangka kerjasama ekstradisi dengan negara – negara dan juridiksi tertentu saja yakni amerika serikat, Jerman, Hongkong SAR dan negara – negara yang tergabung dalam Commonwealth of Nations," kata Yasonna, Kamis (26/2/2023).
Untuk diketahui, perjanjian ekstradisi Indonesia - Singapura ini merupakan perjanjian ekstradisi ke 12 yang telah diberlakukan pemerintah Indonesia setelah Malaysia, Filipina, Thailand, Australia, Hongkong SAR, Republik Korea, Republik Rakyat Tiongkok, India, Papua Nugini, Vietnam, Persatuan Emirat Arab dan Iran.
Dia menjelaskan status Singapura yang saat ini merupakan salah satu pusat ekonomi terbesar dunia juga menjadi pertimbangan kenapa Indonesia dan Singapura harus terikat dalam sebuah perjanjian ekstradisi.
Selain itu, perjanjian ekstradisi juga melengkapi dan menyempurnakan komitmen Indonesia-Singapura dalam kerjasama hukum khususnya terkait pemulangan buronan pelaku tindak pidana ke negara asalnya.
"Indonesia dan Singapura sudah memiliki perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana (ASEAN Mutualisme Legal Assistance Treaty) sebagai dasar berbagai bentuk kerja sama hukum diantaranya terkait pencarian pelaku kejahatan, pengembalian kesaksian, pengeledahan maupun penyitaan aset pidana," imbuhnya.
Yasonna mengatakan perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura terdiri dari 19 pasal dengan ruang lingkup kedua negara sepakat untuk melakukan ekstradisi bagi setiap orang yang ditemukan berada di wilayah negara dimana dan dicari oleh negara peminta untuk penuntutan, persidangan dan pelaksanaan hukuman untuk tindak pidana yang dapat diekstradisi.
Dalam perjanjian ekstradisi ini, kata dia, terdapat 31 tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi, diantaranya tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme dan pendanaan kegiatan terorisme, serta berbagai tindak pidana lain dasarkan hukum kedua negara.
"Oleh karenanya, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura bersifat progresif, fleksibel dan tindak kejahatan di masa sekarang dan masa depan," kata Yasonna.
Dia mengungkapkan ekstradisi Indonesia - Singapura mempunyai fitur khusus yakni penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada saat tindak pidana dilakukan.
Hal ini untuk menutup celah yang mungkin timbul akibat pergantian kewarganegaraan dari pelaku tindak pidana guna menghindari proses hukum terhadap dirinya.
"Lebih lanjut untuk menyesuaikan dengan ketentuan pasal 78 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, perjanjian ini menganut prinsip proaktif hingga 18 tahun sebagai upaya menjangkau tindak pidana yang dilakukan sebelum perjanjian ekstradisi Indonesia – Singapura dilakukan," tambahnya.
Lebih jauh, Yasonna berharap perjanjian ekstradisi Indonesia – Singapura ini dapat langsung dimanfaatkan oleh para penegak hukum, memberikan efek deterensi dan mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana dalam melarikan diri.
Editor : Mahfud