DEPOK, iNews.id - Jagat Twitter Indonesia dihebohkan sebuah kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di sebuah media di Indonesia, dan baru diungkap korbannya setelah enam tahun.
Pengungkapan itu dilakukan korban saat Dandhy, sutradara film dokumenter Sexy Killers, dan wartawan senior Farid Gaban menggagas Ekspedisi Indonesia Baru 2022, sebuah ekspedisi keliling Indonesia dengan sepeda motor, dan mendokumentasikan setiap momen penting dari perjalanan itu dalam bentuk foto maupun video.
Saat ini, sejak 29 Januari hingga 16 Februari 2022, pelaksanaan ekspedisi itu masih dalam tahap pendaftaran peserta dengan sejumlah persyaratan, di antaranya berusia 18-30 tahun.
"orang yang disanjung karena terkenal dengan 'karya' militannya pernah jadi pelindung pelaku kekerasan seksual 6 tahun lalu. sekarang bikin program yang terlihat indah dan progresif, tapi ternyata eksploitatif," sindir Irine Wardhanie, si korban, melalui akun Twitter-nya, @irenzzz, Minggu (30/1/2022).
BACA JUGA:
- Benar-benar Bejat, di Kandang Kambing, Kakek 67 Tahun Hamili Anak Berkebutuhan Khusus
- Striker MU Ini Ditahan Polisi, Diduga Memperkosa Mantan Pacar
Ini awal pengungkapan kasus kekerasan seksual yang dia alami enam tahun lalu, baik secara verbal maupun fisik, Orang yang dia tuding sebagai "pelindung pelaku kekerasan seksual" adalah Farid Gaban. Hal ini diketahui berdasarkan cuitan yang diposting pada Rabu (2/2/2022), yang merupakan kelanjutan dari cuitan tersebut, dan menimbulkan kehebohan di dunia maya.
"Merujuk pada tweet ini, akan saya buat thread meski ini membuka semua trauma saya yang membuat saya sampai sekarang harus tidur membawa pisau karena merasa tidak aman," katanya.
Foto: tangkapan layar
Irine bercerita kalau pada tahun 2015 dia menjadi reporter di Geotimes, dan di situ dia mengalami pelecehan seksual secara verbal oleh manager distribusi media itu yang bernama Zahari.
"(Kala itu) saya masih mampu menegur secara keras kelakuannya," kata Irine.
Kemudian, selama tiga bulan media itu mengirim Irine untuk ikut ekspedisi TNI AL, dan ketika dia kembali ke kantor, pelecehan seksual yang dia alami makin menjadi-jadi.
"List kata-kata pelecehan yang saya terima dari pelaku: jalanmu kayak lon**, sudah berapa kon*** yang masuk ke me***mu di kapal? tidur yuk, kita sama-sama single khan? Kamu pasti udah gak perawan," ungkap Irine.
Tidak hanya itu, Irine juga mengaku kalau Zahari beberapa kali memasuki ruang kerjanya, dan mengunci pintu serta memaksa dirinya untuk having sex dengannya.
"Lampu dia matikan dan dia bilang mumpung sepi. Yang bisa saya lakukan hanya teriak, tapi tidak ada yang nolong. Padahal banyak orang di lantai bawah," katanya.
Lebih jauh, Irine mengungkap kalau Zahari juga mulai berani megang badan dan suka meremas pantatnya.
"Karena tidak tahan, saya cerita kelakuannya ke salah satu fotografer Geotimes. Fotografer tersebut menegur pelaku dan minta saya untuk menghindari pelaku," katanya.
Suatu ketika, lanjut Irine, dia harus menyerahkan sendiri kuitansi rumah sakit untuk direimburse. Awalnya, dia menitipkan kuitansi itu ke teman, tetapi pelaku meminta dirinya untuk menyerahkan sendiri.
"Saat saya datang ke ruangannya, suasana kantor sedang ramai. Di ruangannya ada 1 orang yang tidak saya kenal, tapi orang itu pergi. Kuitansi saya ditolak. Alasannya, itu bukan tugas pelaku. Saya sempat nanya; "trus reimburse kemana?" pelaku jawab tidak tau. Lalu saya ditarik dan dia mencoba melakukan perkosaan di ruangannya siang hari. Saya berhasil lari dan minta tolong ke teman-teman yang ada di ruang redaksi, dan pelaku berhasil mengejar saya, dan dia menjambak rambut saya dan kepala saya dibenturkan ke besi rangka ruang kaca," kisahnya.
Irine menegaskan bahwa banyak saksi yang melihat kejadian itu karena ini terjadi di siang hari. Irine langsung melaporkan tindakan Zahari ke atasannya, Hertasning Ichlas, tapi bosnya itu malah meminta dia agar lanjut bekerja.
"Saya memutuskan pulang tanpa sepersetujuan dia," jelas Irine.
Ia mengaku tetap menuntut adanya sanksi buat Zahari, sehingga dia juga melaporkan apa yang dialaminya itu kepada Pemred Geotimes, Farif Gaban.
"Dia hanya memanggil saksi-saksi, lalu bilang ini akan diselesaikan oleh managing editor Surya Kusuma. Ketika saya tanya sanksi apa yang akan diberikan, saya justru disuruh jangan motong rejeki orang. SAYA DILECEHKAN DAN HAMPIR DIPERKOSA DI KANTOR DAN SAYA DISURUH TERIMA GITU AJA," umpat Irine.
Foto: tangkapan layar
Kemudian, karena lama tidak ada tindakan dari kantornya terhadap Zahari, Irine mengadukan kasusnya kepada salah satu pengurus Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Indonesia, dan oleh Hesty, pengurus dari AJI Indonesia, ia diperkenalkan kepada pengurus AJI Jakarta yang kemudian mendampinginya untuk melaporkan kasusnya ke LBH Pers Jakarta.
"Strategi awalnya adalah kami datangi kantor Geotimes untuk mediasi, tapi apa yang terjadi? Yang terhormat Pemred saya Farid Gaban mengusir pendamping saya dari AJI Jakarta dan LBH Pers Jakarta, dan berteriak jika kasus ini saya lanjutkan, dia akan hancurkan karir saya," imbuh Irine.
Ia berharap Farid Gaban tidak lupa betapa jahat kata-katanya itu.
"Jika dia bilang ini tuduhan serius, mari kita buka kembali semua apa yang saya alami 6 tahun lalu," tantang Irine.
Ia mengaku, meski ia telah resign dari Geotimes tidak lama setelah peristiwa pengusiran tersebut dan mendapat pekerjaan yang mengerti kondisi mentalnya, tapi dia tidak pernah pulih.
"Wapemred saya akhirnya tau apa yang saya alami dan dia berkata "I'm bigger than Farid Gaban dan Zahari". Jadi, ini waktunya saya mengungkapkan kejadian 6 tahun lalu," katanya.
Melalui akun Twitternya, @faridgaban, Farid Gaban telah memberikan tanggapan.
"Saya harus mengakui kesalahan: saya tidak menuntaskan kasus Irine secara tuntas. Posisi kini, mau percaya "kata Irine" atau "kata saya". Saya mempersilakan Irine Wardhanie memilih tim independen yg bisa memverifikasi kembali kasus ini. Saya akan menerima konsekuensi dr hasilnya," kata dia.
Meski demikian Farid membantah telah mengancam akan menghancurkan mantan wartawannya itu.
"Soal saya disebut "mengancam Irine akan menghancurkan karirnya", saya bersumpah: tidak pernah mengatakan itu," katanya.
Foto: tangkapan layar
Ia juga membantah pernah bertemu dengan tim/delegasi dari AJI/LBH Pers.
"Tidak pernah tahu kedatangan mereka dan tidak diberitahu. Bagaimana bisa saya mengusir? Saya bersedia diperiksa untuk kesaksian krusial ini," katanya.
Foto: tangkapan layar
Bahkan soal percobaan perkosaan Irine, Farid membuat catatan sebagai berikut:
1. Saya menerima laporan adanya percobaan perkosaan yang menimpa Irine;
2. Saya mendengar kesaksian berbeda dari tertuduh;
3. Saya meminta pihak independen untuk memverifikasi dua kesaksian berbeda;
4. Tim independen diusulkan oleh pihak Irine dan dia setuju: YAYASAN PULIH.
"Saya mengatakan siap menerima rekomendasi tim independen. Kalau PULIH mengkonfirmasi tuduhan Irine, saya tidak hanya akan memecat tertuduh, tapi mendukung Irine melaporkannya ke polisi," kata dia.
Pada poin kelima, Farid mengaku kalau sampai hari ini, enam tahun kemudian, dia tidak pernah menerima rekomendasi dari YAYASAN PULIH.
Namun dari postingan @muchlis_ar diketahui kalau AJI Jakarta memang pernah mendatangi redaksi Geotimes, tapi tidak ditemui.
"... korban menyampaikan ke redaksinya bahwa tim pendamping korban di kantor Geotimes untuk membicarakan kasus yang menimpanya. Pada akhirnya, tim pendamping tidak berhasil bertemu manajemen redaksi yang saat itu berada di kantor," katanya, Rabu (2/2/2022) malam.
Bersama cuitannya ini, Muchlis memposting tangkapan layar dari ajijakarta.org yang memuat tiga poin terkait kasus Irine itu.
1. Benar bahwa AJI Jakarta dan LBH Pers mendapat pengaduan terkait kasus kekerasan seksual berupaya dugaan upaya pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap reporter perempuan di Geotimes. Kami mengutuk segala bentuk tindakan kekerasan seksual dan mendukung sepenuhnya upaya korban untuk mendapatkan keadilan.
2. Atas permintaan korban, AJI dan LBH Pers mendampingi korban dan kemudian mendatangi kantor Geotimes di Menteng, Jakarta Pusat. Sesampainya di kantor, pendamping menunggu di ruang tamu dan korban menyampaikan ke redaksinya bahwa tim pendamping korban ada di kantor Geotimes untuk membicarakan kasus yang menimpanya. Pada akhirnya, tim pendamping tetap tidak berhasil bertemu manajemen redaksi yang saat itu berada di kantor.
3. Kami sangat menyayangkan kejadian yang menimpa korban. Siapa pun bisa menjadi korban dan dalam hal ini, perempuan jelas belum mendapatkan ruang yang aman dan nyaman, bahkan di lingkungan kantornya sendiri.
Editor : Rohman