Pertama, inklusi penghayat kepercayaan dalam pengaturan PKUB. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 telah mengafirmasi kesetaraan antara agama dengan kepercayaan.
Namun demikian, diskriminasi terhadap Penghayat Kepercayaan masih sering terjadi. Oleh karena itu, Ranperpres PKUB mesti menginklusi eksistensi Penghayat Kepercayaan dan hak-hak mereka. Dalam Raperpres PKUB, baik secara redaksi maupun substansi, pengaturan PKUB masih sangat minim menyebut perihal penghayat kepercayaan.
Untuk itu, inklusi Penghayat Kepercayaan harus dilembagakan melalui Ranperpres PKUB.
Kedua, integrasi Tata Kelola Pemerintahan Inklusif sebagai prinsip utama tugas pemerintahan kepala daerah dalam PKUB.
Mencermati studi-studi yang dilakukan sebelumnya. SETARA Institute dan INFID memandang bahwa tata kelola pemerintahan daerah yang inklusif merupakan fondasi penting bagi pemajuan toleransi dan kerukunan di daerah-daerah.
Tata kelola pemerintahan inklusif ini bertolak dari kebutuhan mengakselerasi kinerja pemerintahan daerah mengatasi praktik intoleransi dan pelanggaran KBB dengan mengelola faktor-faktor intoleransi yang terjadi pada lapis negara dan lapis masyarakat sekaligus. Usulan pengintegrasian tata kelola pemerintahan inklusif dalam Ranperpres PKUB ini perlu ditambahkan dalam beberapa pasal diantaranya Pasal 1, Pasal 4, dan Pasal 5 yang pada pokoknya memuat tugas dan wewenang pemerintah daerah dalam PKUB.
Ketiga, transformasi pengaturan pendirian rumah ibadah. Data longitudinal SETARA Institute (2007-2022) mengenai pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) menunjukkan telah terjadi 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah, yang mencakup pembubaran dan penolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan lain sebagainya.
Editor : Kartika Indah Kusumawardhani