Mengapa demikian? Berikut penjelasannya:
Pertama, seorang wanita dikatakan sah sebagai istri cukup dengan akad nikah. Tanpa harus dengan adanya hubungan badan setelah akad. Dalam QS An-Nisa’: 23 disebutkan:
وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ
"Diharamkan bagi kalian menikahi ibu-ibu istri kalian (mertua)."
Nisa’ pada ayat di atas maknanya adalah istri. Menunjukkan bahwa ibu istri (mertua) menjadi mahram cukup dengan sahnya putrinya menjadi istri, yaitu dengan akad nikah, karena jimak (hubungan badan) tidak disyaratkan dalam keabsahan pernikahan.
Kedua, ayat tersebut bersifat umum, maka dipahami apa adanya. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhuma:
أبهموا ما أبهم القرآن
"Samarkanlah hukum yang disamarkan oleh Alquran." (Lihat kitab Al-Mughni, 7/85, dikutip dari https://islamqa.info)
Editor : Kartika Indah Kusumawardhani