get app
inews
Aa Text
Read Next : Agen Gas Palsu Gentayangan di Depok, Warga Diimbau Waspada

Mantan Suami Norma Risma Ingin Menikahi Ibu Mertuanya, Simak Hukumnya dalam Islam

Jum'at, 06 Januari 2023 | 14:01 WIB
header img
Hukum menikahi ibu mertua dalam Islam. Foto ilustrasi: Pixabay/myriams-fotos

DEPOK, iNewsDepok.id - Mantan suami Norma Risma, Rozy Zay Hakiki kembali membuat heboh. Pasalnya, dia mengungkapkan ingin menikahi ibu mertuanya Rihanah Anah setelah kasus hubungan intimnya dengan ibu mertua viral.

Rozy mengomentari sebuah unggahan di akun Facebook yang diduga milik ibu kandung Norma Risma yang telah diganti foto profilnya. Rozy menulis terkait pernikahan guna menghapus dosa perselingkuhan mereka.

"Apa saya harus menikahi mertua saya untuk menghapus semua dosa yang saya perbuat," tulis komentar yang diduga dari akun Rozy, dikutip pada Jumat (6/1/2023).

Apakah diperbolehkan menikahi ibu mertua menurut Islam? Bagaimana hukumnya?

Mengutip laman Konsultasi Syariah, Ustadz Ahmad Anshori, alumni UIM dan Pengasuh PP Hamalatul Quran DIY, menjelaskan bahwa sama-sama diketahui menantu merupakan mahram bagi mertuanya.

Suami anak adalah mahram untuk ibu mertuanya, demikian pula istri anak adalah mahram untuk ayah mertuanya. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ

"Diharamkan bagi kalian menikahi ibu-ibu istri kalian (mertua)." (QS An-Nisa’ Ayat 23)

Para ulama berbeda pendapat apakah mahram harus setelah terjadi jima’ (hubungan badan) atau cukup dengan akad nikah yang sah. Pendapat yang kuat dalam masalah ini –wallahua’lam– adalah cukup dengan akad yang sah menantu sudah menjadi mahram untuk mertuanya

Sementara Imam Ibnu Katsir –rahimahullah– menerangkan saat menafsirkan ayat di atas,

أما أم المرأة فإنها تحرم بمجرد العقد على ابنتها، سواء دخل بها أو لم يدخل

"Ibunya istri (ibu mertua) menjadi mahram cukup dengan berlangsungnya akad nikah atas putrinya. Baik telah berhubungan badan ataupun belum." (Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir, 2/249) 

Mengapa demikian? Berikut penjelasannya:

Pertama, seorang wanita dikatakan sah sebagai istri cukup dengan akad nikah. Tanpa harus dengan adanya hubungan badan setelah akad. Dalam QS An-Nisa’: 23 disebutkan:

وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ

"Diharamkan bagi kalian menikahi ibu-ibu istri kalian (mertua)."

Nisa’ pada ayat di atas maknanya adalah istri. Menunjukkan bahwa ibu istri (mertua) menjadi mahram cukup dengan sahnya putrinya menjadi istri, yaitu dengan akad nikah, karena jimak (hubungan badan) tidak disyaratkan dalam keabsahan pernikahan.

Kedua, ayat tersebut bersifat umum, maka dipahami apa adanya. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhuma:

أبهموا ما أبهم القرآن

"Samarkanlah hukum yang disamarkan oleh Alquran." (Lihat kitab Al-Mughni, 7/85, dikutip dari https://islamqa.info)

Maksud perkataan beliau adalah ayat yang bersifat umum dan tidak ditemukan dalil khusus yang memungkinkan dijadikan penjelasnya, maka biarkanlah berlaku umum.

Contohnya adalah ayat tersebut, sehingga tidak perlu diperinci kemahraman ibu istri berlaku jika istri sudah di-dukhul (disetubuhi). Sebab, ayatnya hanya menerangkan ibu istri (mertua) adalah mahram bagi suami anak (menantu), tanpa ada keterangan sudah di-dukhul (disetubuhi) atau belum di-dukhul.

Imam Ibnu Qudamah menjelaskan:

فمن تزوج امرأة حرم عليه كل أُم لها ، قريبة أو بعيدة [يعني الأم والجدة] بمجرد العقد نص عليه أحمد وهو قول أكثر أهل العلم منهم ابن مسعود وابن عمر وجابر وعمران بن حصين وكثير من التابعين وبه يقول مالك والشافعي وأصحاب الرأي….؛ لقول الله تعالى : ( وأمهات نسائكم ) والمعقود عليها من نسائه ، فتدخل أمها في عموم الآية . قال ابن عباس: أبهموا ما أبهم القرآن يعني عمموا حكمها في كل حال ، ولا تفصلوا بين المدخول بها وبين غيرها

"Laki-laki yang menikahi seorang wanita, maka seluruh ibu sang wanita menjadi mahramnya, baik ibu jauh maupun dekat (yakni ibu kandung ataupun nenek), hanya dengan melakukan akad nikah.

Seperti itulah pendapat Imam Ahmad, yang juga dipegang oleh mayoritas ulama di antaranya: Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar, Jabir, Imron bin Hushoin, serta banyak ulama di generasi tabi’in. Pendapat ini pula yang dipegang oleh Imam Syafi'i dan Hanafi.

Pendapat tersebut dasarnya adalah firman Allah:

وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ

"Diharamkan bagi kalian menikahi ibu-ibu istri kalian (mertua)." (QS An-Nisa’ : 23)

Hanya dengan melakukan akad nikah, wanita sudah sah menjadi istri, (tanpa harus melakukan hubungan badan dulu, pen). Sehingga ibu istri, masuk keumuman ayat (otomatis menjadi mahram bagi menantu).

Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhuma menjelaskan, "Samarkan kalimat yang disamarkan oleh Alquran. Maksudnya, keumuman hukumnya biarkan berlaku pada setiap keadaan. Jangan diperinci pada wanita yang sudah di-dukhul (hubungan badan) atau yang belum." (Al-Mughni, 7/85, dikutip dari https://islamqa.info) 

Lantas apakah jika dalam pernikahan tersebut terjadi perceraian apakah ibu mertua masih mahram?

Sebelum menjawab itu, dimengerti terlebih dulu bahwa mahram ada dua macam, yaitu mahram sementara (mu-aqqot) dan mahram selamanya (mu-abbad).

Mertua tergolong mahram selamanya (mu-abbad), karena disebut dalam ayat yang menjelaskan tentang mahram di atas (QS An-Nisa: 23).

Semua mahram yang disebutkan dalam ayat tersebut statusnya adalah mahram selamanya. Sehingga meski anaknya sudah cerai, mantan menantunya tetap menjadi mahramnya selamanya.

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah nomor 26819 dijelaskan:

فلا يجوز للرجل الزواج من أم زوجته بعد طلاق بنتها أو وفاتها؛ لأن أم الزوجة محرمة على زوج ابنتها على التأبيد

"Seorang lelaki tidak boleh menikahi ibunya istri meski setelah menceraikan putrinya atau ditinggal mati putrinya yang menjadi istrinya. Karena ibu mertua statusnya mahram selamanya bagi menantu."

Wallahua’lam bisshowab

Editor : Kartika Indah Kusumawardhani

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut