DEPOK, iNewsDepok.id - Hingga sekarang polemik tentang Hari Lahir Pancasila ternyata masih muncul ke pergulatan politik di tengah pandemi covid-19, menyusul kebijakan Pemerintah menetapkan hari lahir Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945 melalui Keppres No. 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila.
Syahdan, terkait dengan hiruk pikuk RUU HIP, BPIP dan RUU BIP, seolah warga dibangunkan untuk mengaitkannya dengan penetapan Harlah Pancasila 1 Juni 1945. Sebagian masyarakat merasa bahwa Usulan RUU HIP yang kemudian digugurkan, dan RUU BPIP yang beraroma moderasi, deradikalisasi paham komunisme dan otoritatianisme, tidak dapat pisahkan dari skenario penetapan Harlah Pancasila tanggal 1 Juni 1945. Seolah ada upaya untuk terus mengenang, memuja dan bahkan menjadikan pidato Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 sebagai Ajaran Soekarnoisme yang pada akhirnya dinilai oleh beberapa pihak lebih berbau atau cenderung "kekirian", khususnya jika dikaitkan dengan Nasakom pada tahun 1965.
Pada akhirnya, tidak dapat dipungkiri munculnya kecurigaan rasional bahwa pengajuan RUU HIP dulu dan RUU BPIP sekarang merupakan bagian dari roadmap pengejawantahan ajaran Seokarnoisme tersebut. Apakah hal ini dibenarkan jika kita mengingat bahwa Pancasila sebagai dasar negara telah disepakati ada, lahir pada tanggal 18 Agustus 1945 melalui pengesahan UUD NRI Tahun 1945?
Pentahapan Kelahiran Pancasila Dasar Negara
Secara penalaran, lahirnya suatu gagasan, ide, pemikiran yang terangkum dalam sebuah narasi way of life, ideologi dan juga dasar atau asas suatu negara sekalipun dapat dibagi menjadi 4 tahap:
(1) Tahap Pembenihan, Pembibitan ide;
(2) Tahap Pembuahan ide;
(3) Tahap Perumusan ide; dan
(4) Tahap Kelahiran ide.
Demikian pula Pancasila sebagai basis atau fondamen pemerintah negara Indonesia, didirikan juga tidak terlepas dari pentahapan tersebut. Ir Soekarna tidak pernah mengklaim dirinya sebagai pencipta Pancasila, melainkan hanya sebagai salah satu penggali nila-nilai Pancasila yang telah ratusan tahun terpendam di bumi Nusantara Indonesia ini.
Pada TAHAP PERTAMA, cikal bakal manusia Indonesia telah dikenal memiliki kearifan lokal yang memenuhi karakter nilai-nilai Pancasila. Misalnya keyakinan terhadap Tuhan. Teori Wahyu yang dikemukakan oleh Wilhelm Schmidth (etonolog dan ahli bahasa Austria) menyatakan bahwa bangsa-bangsa di Nusantara meyakini adanya Tuhan dengan sebutan beraneka ragam, Alloh (Islam dan Nasrani), Sang Hyang Widhi Wase (Hindu), Gusti Pangeran (Jawa) dan lain-lainnya. Intinya, penduduk yakin adanya sesuatu yang berada di luar kekuasaan alam dan manusia.
Persepsi terhadap kemanusiaan dan hakikat manusia juga dimiliki oleh penduduk di Nusantara. Dalam Suluk Wujil (Jawa), manusia diyakini sebagai mahluk monodualisme. Disebutkan pertanyaan mendasar: Apa manungsa iku? Manungsa iku loro ning datan loro. Lir tinon lawan ragane (Apa manusia itu? Manusia itu dua menjadi satu, yakni jiwa dan raga yang tampak sekaligus), bahkan monopluralisme yang kemuadian konsep ini dikembangkan oleh Prof. Notonagoro. Manusia bukan dimaknai sebagai substansi material seperti komunis dan kapitalis, melainkan dimaknai lahir dan bathin, sehingga pemenuhannya tidak cukup aspek lahiriah melainkan juga bathiniah.
Perihal persatuan, semangat bersatu kita temukan jejak bagaimana sejarah mengukir kesatuan bangsa, misalnya kesatuan penduduk dan wilayah serta keragaman SARA dengan semboyan di Majapahit dengan kalimat Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa (Berbedalah, tetap menjadi satu kesatuan, tidak ada dharma kebaikan yang mendua). Permusyarawaratan untuk mufakat juga sudah terbiasa dilakukan oleh para raja dan penduduknya. Adat adat musyawarah rembug desa di Jawa, adat adat begundem di Lombok bahkan tercatata dalam sejarah dalam kitab Negara Kertagama bahwa pengangkatan Gajah Mada sebagai Mahapatih Majapahit juga ditempuh dengan musyawarah.
Mengenai kedilan sosial, atau pengutamaan kesejahteraan sosial, kita bisa menyimak pembibitan nilai ini sejak zaman Sriwijawa dengan Raja Syailendra ketika membuat prasasti Kedukan Bukit 683 M. Pada prasasti itu tertulis saloka yang berbunyi: Marwat Vanua Srivijaya Jaya Sidhdhaayatra Subhiksa (Mendirikan Negara Sriwijaya Yang Jaya Sejahtera Sentausa). Hal ini menunjukkan komitmen Kerajaan Sriwijaya untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh penduduk kerajaan.
Pada TAHAP KEDUA, menjelang kemerdekaan RI ada upaya yang tegas dari orang-orang terpelajar di Indonesia untuk memperjuangkan dan membela nilai-nilai yang dapat mendorong segala upaya untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan kaum imperialis. Ada Perhimpunan Indonesia, ada Indische Partij, ada PNI, ada PKI dan lain sebagainya. Organisasi-organisasi itu sengaja dibentuk untuk menyemai sekaligus mengawinkan nilai-nilai baru yang akan dipakai sebagai spirit perjuangan melawan penjajahan di bumi pertiwi Indonesia.
Pada TAHAP KETIGA, nilai-nilai yang terpendam, disemaikan dan telah dicoba untuk dikawinkan, kemudian diusahakan untuk dikonkretkan dengan cara membuat rumusan agar lebih mendapatkan kepastian hukumnya. Terkait dengan Pancasila maka melalui Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) para tokoh pendiri bangsa mencoba mengajukan dan merumuskan asas, dasar negara didirikan. Pada sidang BPUPK yang pertama (29 Mei sd 1 Juni 1945) ada beberapa tokoh yang mengajukan gagasan tersebut.
(1) Mr Muhammad Yamin, mengajukan:
Dalam pidatonya:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan rakyat.
Usulan secara tertulis:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kebangsaan Persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan.
5. Keadan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
(2) Pada tanggal 31 Mei 1945, Mr Supomo juga mengajukan lima dasar negara yaitu;
1. Persatuan
2. Kekeluargaan
3. Keseimbangan lahir dan bathin
4. Musyawarah
5. Keadilan Rakyat,
(3) Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Sukarno menyampaikan pidatonya. Dalam pidato itu, Ir. Sukarno juga mengajukan lima dasar negara didirikan yang kemudian diusulkan untuk diberi nama Pancasila (atas usulan ahli bahasa temannya, diperkirakan Mr Moh. Yamin). Lima dasar itu adalah:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme dan perikemanusiaan
3. Mufakat atau demokrasi
4. Kesejahteraan sosial
5. Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bahan-bahan berupa usulan para tokoh pada sidang BPUPK pertama ini perlu digodog lebih lanjut. Oleh karena itu dibentuklah Panitia kecil pada tanggal 1 Juni 1945. Ada 9 orang dan diketuai oleh Ir. Sukarno. Panitia itu kita kenal dengan nama Panitia 9. Hasil kerja Panitia 9 berupa Piagam Jakarta atau juga disebut Mukadimah atau juga disebut _Gentlement Agreements_. Di dalam Piagam Jakarta ini termaktub lima dasar negara didirikan, yaitu:
1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Sampai di sini, usulan lima dasar negara didirikan tidak lagi pendapat perseorangan melainkan sudah menjadi MODUS, setidaknya wakil-wakil pada Panitia 9. Tidak ada ajaran pribadi di sini sekalipun oleh Ir. Sukarno. Jadi, kalau ingin menetapkan hari lahir Pancasila sebagai modus vivendi lebih tepat tanggal 22 Juni 1945 dibandingkan 1 Juni 1945.
Pada TAHAP KEEMPAT menjelang pengesahan UUD NRI 1945, atas 7 kata di belakang Ketuhanan pada sila pertama, tampaknya menimbulkan kegerahan bagi sebagian masyarakat Indonesia khususnya kalangan Non Muslim hingga menjelang sidang PPKI 7 kata itu dihapus dan pada saat pengesahan UUD 1945, 7 kata itu disepakati oleh PPKI untuk dihilangkan sehingga sila pertama Pancasila berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Sila lainnya tetap bunyi dan susunannya. Hingga di sini kita dapat menyaksikan bahwa Pancasila yang disahkan bersamaan dengan pengesahan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 ini benar-benar telah menjadi MODUS VIVENDI (Kesepakatan Luhur Final). Ketika sudah ada modus vivendi inilah, sebuah ide, gagasan dasar negara telah memperoleh legitimasi dan legalitasnya. Maka, lebih tepat HARI LAHIR PANCASILA ditetapkan pada tanggal 18 AGUSTUS 1945. TAHAP KELAHIRAN sebuah ide, gagasan dari sebuah bangsa tentang dasar negara RI telah tiba.
Politik Hukum Penerbitan Keppres Harlah Pancasila
Ada pertanyaan penting yang perlu diajukan yaitu: "bagaimana legalitas dan legitimasi penetapan Harlah Pancasila tanggal 1 Juni sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 24 Tahun 2016?" Saya akan sedikit mengkritisi Keppres ini, khususunya dari sisi politik Hukumnya, sebagai berikut:
(1) Tidak ada urgensi penerbitan Keppres
Dari sisi politik hukum, urgensi penetapan harlah Pancasila 1 Juni 1945 itu tidak ada karena hari kelahiran Pancasila sebenarnya sudah disepakati oleh bangsa Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 dan tidak perlu diperdebatkan. Para ahli tata negara, dosen-dosen HTN dan Pancasila sebenarnya sudah sepakat secara legal konstitusional Pancasila lahir bersama pengesahan UUD 1945, yakni 18 Agustus 1945. Patut diduga sebenarnya tidak ada polemik, yang mungkin ada hanyalah kepentingan politik tertentu.
(2) Tidak ada cantolan hukumnya.
Di sisi lain, Keppres No. 24 Tahun 2016 adalah Keppres yang sangat minim memperoleh dasar hukum berupa "cantolan hukum" pembentukan sebuag Keppres. Keppres ini hanya didasarkan pada Pasal 4 ayat 1 UUD NRI 1945 yakni tentang kewenangan Presiden untuk menjalankan pemerintahan menurut UU. Tidak ada satu pun UU, PP atau Perpres sekalipun yang menjadi dasar pembentukan Keppres ini.
(3) Tidak tepat status pengaturannya melalui Keppres.
Sebagaimana diketahui bahwa Keppres itu dari sisi HTN dan HAN adalah sebuah produk hukum yang bersifat konkret, individual dan selesai. Lalu bagaimana bisa Hari Lahir Pancasila itu ditetapkan dengan Keppres yang punya sifat khusus dan tidak berlaku umum untuk seluruh rakyat? Saya diangkat menjadi Guru Besar itu dengan Keppres, bukan dengan PP atau Peraturan Presiden (Perpres) yang sifatnya abstrak dan umum. Menyangkut soal dasar negara, ideologi negara saya kira harlahnya tidak tepat dituangkan dalam bentuk Keppres yang pertimbanangan hukumnya lebih individual dan subjektif.
Oleh karena menyangkut soal negara, maka pertimbangannya tidak boleh sepihak melainkan harus melibatkan para wakil rakyat yang duduk di DPR dan MPR, sekaligus melibatkan PARTISIPASI RAKYAT sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tetang PPP. Oleh karena itu penetapan harlah Pancasila lebih tepat dengan UU atau jika mungkin dengan Ketetapan MPR. Mengapa harus dengan UU atau Ketetapan MPR? Hal ini dilakukan agar tidak mudah diubah sesuai dengan kemauan rezim yang berkuasa secara sepihak.
Implikasi Penetapan Harlah Pancasila 1 Juni 1945
Implikasi penetapan 1 Juni 1945 sebagai hari lahir (harlah) Pancasila.
(1) Adanya upaya untuk terus mengembangkan pidato 1 Juni 1945 sebagai Ajaran Soekarno atau Soekarnoisme oleh partai politik tertentu dan bahkan menjadikannya sebagai Visi partai tersebut plus upaya pemerasan Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila.
(2) Pergeseran urat tunggang Pancasila dari Ketuhanan Yang Maha Esa (religiusitas) menjadi Gotong Royong (tidak dijamin religiusitasnya). Hal ini tercemin dalam RUU HIP dan Visi sebuah partai pengusungnya.
(3) Terkesan ada upaya melakukan moderasi atau deradikalisasi terhadap paham komunisme, Marxisme-leninisme melalui RUU HIP yang diusung oleh partai yang bervisi Pancasila 1 Juni 1945. Kecurigaan ini tidak berlebihan ketika kita menyaksikan keterangan dari anggota parlemen yang menyatakan bahwa mantan dan para anak cucu PKI berlindung pada partai tersebut. Jumlahnya pun tidak sedikit, mencapai 15 juta hingga 20 juta orang.
(4) Melalui penetapan harlah 1 Juni 1945, kita juga menangkap kesan bahwa Pancasila lebih dikembangkan sebagai IDEOLOGI NEGARA dibandingkan dengan Pancasila sebagai DASAR NEGARA. Sementara itu, Pancasila di Pembukaan UUD 1945 itu harus dimaknai sebagai dasar negara yang wajib diamalkan oleh para penyelenggara pemerintah negara (legislatif, yudikatif dan eksekutif) bukan oleh warga negara. Ketika Pancasila ditekankan pada ideologi negara, maka akan mudah dilahirkan TAFSIR TUNGGAL Pancasila yang berpotensi menjadi ALAT GEBUK rezim terhadap pihak lain yang berseberangan dengan rezim penguasa. Hal ini sudah tercermin dalam RUU HIP-yang sudah kandas-maupun RUU BPIP.
Berdasarkan argumentasi tersebut di muka, baik dari sisi politik hukumnya maupun implikasi penetapan harlah Pancasila 1 Juni 1945, maka Keppres No. 24 Tahun 2016 kiranya patut untuk digugat serta kembali pada Pancasila sebagaI MODUS VIVENDI yang lahir pada tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan pengesahan UUD NRI 1945. Upaya untuk membangkitkan ajaran yang tidak sesuai bahkan terkesan hendak mengganti Pancasila Dasar Negara 18 Agustus 1945 harus dimaknai sebagai perbuatan MAKAR IDEOLOGI/DASAR NEGARA sebagaimana telah diatur dalam UU No. 27 Tahun 1999 jo Pasal 107 huruf a, b, c, d, e, dan f KUHP yang diancam hukuman penjara paling lama 12 hingga 20 tahun. Jika hal itu dilakukan oleh sebuah partai politik, maka sesuai dengan UU Parpol, parpol tersebut dapat diusulkan oleh Presiden untuk dibubarkan melalui mekanisme pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi (MK).
Penutup
Mungkin bagi kalangan tertentu hari lahir sebuah ide, gagasan, ideologi atau apa pun namanya itu tidak penting. Namun, ketika hari lahir gagasan atau ideologi itu dimaknai bukan sekedar istilah (wadah) melainkan persoalan konten dari sebuah ide dasar, maka hal ini merupakan persoalan yang serius karena para inisiatornya telah menyalahi konsensus nasional yang telah ada bahkan menjadi modus vivendi. Jadi, nama atau wadah itu penting, isi juga penting dan artinya keduanya ternyata tidak dapat dipisahkan. Jadi, Hari lahir Pancasila dan Isi serta makna di dalamnya tidak dapat dipisahlepaskan. Harlah Pancasila sebagai Modus Vivendi adalah 18 Agustus 1945 bukan 1 Juni 1945. Bukankah begitu penalaran yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan?
Tabik...!!!
Oleh: Prof. Dr. Pierre Suteki
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Editor : Rohman
Artikel Terkait