“Survei ini menggantikan istilah teknis seperti global warming dengan istilah 'suhu panas bumi yang semakin tinggi,’ yang lebih relevan dan mudah dipahami oleh masyarakat luas. Ini adalah langkah penting dan menjadi insights baru untuk saya pribadi dalam memastikan komunikasi tentang isu lingkungan menjadi inklusif dan efektif,” ujar Gita.
Topik lingkungan hidup ini tidak hanya relevan bagi komunitas terdidik, tetapi juga harus dapat diterjemahkan ke dalam bahasa yang lebih sederhana dan kampanye yang mudah dimengerti. Dengan cara ini, masyarakat umum dapat lebih memahami urgensi dari isu ini dan mengambil tindakan," imbuh Gita.
Sementara itu, Juliarta Ottay, Ketua dan Direktur Mandala Katalika, menyoroti perlunya kebijakan yang inovatif dalam menangani sampah, terutama plastik. “Penerapan pajak tambahan bagi produsen yang menggunakan plastik sulit terurai adalah salah satu langkah strategis. Semakin sulit plastik tersebut terurai, semakin tinggi pajaknya. Langkah ini akan mendorong produsen untuk lebih bertanggung jawab dan memilih material yang lebih ramah lingkungan,” ujar Juliarta.
Selain isu lingkungan hidup, survei ini juga mencatat kondisi kesehatan psikologis masyarakat. Sebanyak 58,5 persen responden menyatakan tidak pernah mengalami kesedihan atau putus asa dalam dua minggu terakhir, namun 34,9 persen mengaku terkadang merasa sedih, dan 6,2 persen sering mengalaminya. Dalam hal kecemasan, 46,3 persen responden sesekali merasa cemas, sementara 12,1 persen sering mengalami kecemasan.
Golkar Institute berharap hasil survei ini dapat menjadi panduan strategis bagi berbagai pihak untuk menciptakan kebijakan yang inklusif dan berorientasi pada keberlanjutan.
Editor : M Mahfud
Artikel Terkait