JAKARTA, iNews.id - Saat ini, target bauran energi berdasarkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2025 sulit tercapai karena dominasi sumber energi fosil yang masih tinggi. Oleh karena itu, perlu segera dilakukan revisi terhadap KEN yang ada agar lebih mendukung transisi energi.
Feiral Rizky Batubara, seorang praktisi investasi dan pemerhati ketahanan energi, mengungkapkan bahwa sumber energi fosil merupakan yang paling umum digunakan selama seratus tahun terakhir. Namun, di masa depan, Energi Baru dan Terbarukan (EBT) diharapkan dapat menggantikan dominasi energi fosil. Untuk itu, diperlukan Kebijakan Energi Nasional yang mendukung transisi energi agar tujuan tersebut dapat tercapai.
"Saat ini sulit mencapai target KEN untuk tahun depan. Oleh karena itu, perlu segera disahkan Kebijakan Energi terbaru," kata Feiral.
Dia menambahkan bahwa saat ini banyak pembangkit listrik di dunia sudah mulai beralih ke energi terbarukan. Meskipun energi fosil masih mendominasi—dengan sekitar 35,7% berasal dari batubara, 25% dari gas alam, dan sumber fosil lainnya—sumber energi lainnya mulai didukung oleh energi terbarukan, seperti energi air yang paling besar, diikuti oleh nuklir, angin, matahari, bioenergi, dan lainnya.
"Sampai kapan kita akan membiarkan implementasi transisi energi ke EBT terhambat seperti sekarang? Jika kita melihat negara-negara tetangga seperti Jepang yang telah menggunakan Honeycomb wind lense turbine, China dengan reaktor fusi nuklir buatan, Malaysia dengan proyek solar Mudajaya, dan Thailand dengan pembangkit hidroelektrik Srinagarind dan Sungai Kwai Yai, kita seharusnya bergerak lebih cepat," tambah Feiral.
Selain itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, telah mengumumkan penutupan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Suralaya di Cilegon, Banten. Oleh karena itu, diperlukan pembangkit listrik berbasis EBT yang besar dan masif.
"Penutupan PLTU ini dapat mengganggu ekonomi, pertahanan, keamanan, dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Sumber EBT yang memiliki potensi besar adalah geothermal, air, dan nuklir. Karena geothermal dan air lokasinya jauh dan tergantung pada kondisi alam, sebaiknya pemerintah mempertimbangkan nuklir sebagai opsi terakhir. Energi nuklir menawarkan biaya yang murah, bersih, dan kontinuitas yang tinggi," jelas Feiral.
Menurutnya, perubahan harus dimulai segera dengan menghadapi risiko kegagalan dan keuntungan finansial yang mungkin lebih kecil saat ini, untuk mencapai tujuan jangka panjang yang lebih besar dan bermanfaat bagi generasi mendatang.
Selain itu, penerbitan green bond dan transaksi di bursa karbon merupakan salah satu mekanisme yang dapat merangsang perkembangan ekonomi hijau.
"Kebijakan pendukung dari pemerintah akan selalu diperlukan sebagai dasar yang efektif dalam mendorong pergerakan ekonomi serta investasi menuju arah yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan," tutup Feiral.
Editor : Sazili Mustofa
Artikel Terkait