Meskipun waktu pendaftaran sudah hampir berakhir, hal tersebut tidak mengurangi semangat Dentista. Dia segera mendaftar secara online dan menyerahkan berkasnya kepada panitia.
Di Kota Madiun, formulir pendaftaran online yang sudah diisi bisa diserahkan ke PT CUN Motor, anak perusahaan dari Maesa. Setelahnya, diumumkan 20 peserta terbaik, sepuluh dari Kota Madiun dan sepuluh dari Ponorogo. Peserta yang lolos kemudian diminta membuat video perkenalan untuk dikirimkan kepada Maesa.
"Tidak diinformasikan berapa banyak yang mendaftar. Tetapi seharusnya cukup banyak, karena pada tahun 2019 saja katanya ada sekitar 400 orang yang mendaftar," ungkapnya.
Tidak hanya itu, peserta 20 besar tersebut juga harus melewati tahapan wawancara dan penilaian bakat. Selain Dentista, orang tua juga diwawancara secara terpisah. Dalam sesi wawancara tersebut, Dentista berhasil menarik perhatian tim penilai dengan catatan prestasi yang telah diraih sebelumnya.
Alumni SDN 05 Madiun Lor ini memiliki prestasi gemilang di bidang matematika dan pernah berkompetisi di tingkat internasional, seperti International Mathematics Wizard Challenge (IMWIC) di Jakarta dan International Mathematics Contest (IMC) 2019 di Singapura.
Selain itu, dia juga telah berkompetisi di Malaysia dan Myanmar, serta beberapa kali menjadi juara di bidang sains dan Bahasa Inggris.
"Ada banyak aspek yang dinilai, mulai dari minat dan bakat, kemampuan berbicara di depan umum, hingga prestasi-prestasi yang telah diraih sebelumnya. Kemarin juga diminta menyertakan fotokopi nilai rapor dan sertifikat yang dimiliki," ungkapnya sambil menyebut bahwa putrinya berhasil lolos dengan nilai tertinggi, yaitu 452 poin.
Tim penilai juga merupakan orang-orang yang terampil dan berpengalaman. Ari menyebut bahwa tim penilai terdiri dari akademisi, budayawan, psikolog dari Universitas Airlangga, dan perwakilan dari Maesa.
Ari merasa bersyukur karena anaknya berhasil lolos. Perjalanan ke Jepang akan menjadi pengalaman yang berharga baginya.
Bahkan, orang tua diingatkan untuk tidak memberikan uang saku kepada anak-anak mereka, karena hal tersebut bisa dianggap sebagai pelanggaran budaya Jepang dan berdampak pada program selanjutnya.
Editor : Sazili Mustofa
Artikel Terkait