Hanifa menilai, pihak yang mengajukan gugatan bukan perusahaan pemilik IUP tersebut, melainkan perusahaan lain yang sama sekali baru.
“Dikatakan asli karena terintegrasi di MODI Ditjen ESDM, tapi dikatakan palsunya karena yang menggugat ke PTUN itu bukan pemilik IUP yang dicabut,” bebernya.
Hal senada diungkapkan oleh Pakar Hukum Pertambangan Universitas Hasanuddin, Abrar Saleng. Ia mengatakan, aktivitas tambang nikel ilegal di Sulawesi sangat merugikan negara. Sebab, kerap menerobos ke area IUP yang sudah ada pemiliknya. Termasuk ke kawasan yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).
“Ada perusahaan tambang nikel di Sulawesi Tenggara yang sudah jadi PSN dan ada smelter, wilayahnya digasak. Tentu ini mengganggu investasi yang sudah berjalan dan dicanangkan oleh negara,” jelas Abrar.
Ia menegaskan, ada dua kondisi yang membuat tambang ilegal menjamur. Yakni ketika terjadi lonjakan harga komoditas, dan saat menjelang Pemilu yang dimotori oleh oknum kontestan pemilihan.
“Tambang ilegal akan marak ketika dua momen, ketika harga bagus dan menjelang kontestasi Pemilu. Orang-orang yang menjadi calon, ada di situ. Dia dapat uang sekaligus suara karena mempekerjakan para penambang ilegal,” pungkasnya.
Editor : M Mahfud
Artikel Terkait