JAKARTA,iNews.id- Kebiasaan konsumsi pangan mengandung gula tinggi, masyarakat minim literasi gizi, sosial ekonomi masyarakat menjadi faktor penentu keberhasilan penurunan prevalensi stunting di Indonesia. Pemerintah bersama swasta, akademisi, organisasi masyarakat, dan media perlu satu suara mengatasi stunting.
Dari hasil penelitian seorang guru besar gizi Universitas Muhammadyah menunjukkan mengenai kebiasaan konsumsi kental manis oleh balita. Sebanyak 11,4% balita di Banten, 8,4% di DKI Jakarta dan 5,3% di DI Yogyakarta mengonsumsi kental manis. Tidak hanya itu, 78,3% responden di Banten, 88,1% di DKI dan 95,2% di DI Yogyakarta memberikan kental manis kepada balitanya lebih dari 1 sachet perhari.
Faktor utama pemberian kental manis pada anak ini disebabkan oleh persepsi masyarakat di tiga wilayah ini yang masih menganggap kental manis adalah susu. Pola makan yang terbentuk sejak balita akan terbawa terus hingga dewasa, sehingga kebiasaan memberikan kental manis untuk anak dan balita ini harus dicegah sedini mungkin supaya tidak berlanjut.
“Penelitian sebelumnya juga menunjukkan balita secara alamiah sangat suka makanan manis, terlebih lagi ketika ada paparan gula tambahan di dalam makanan,” kata Guru Besar Universitas Muhammadyah Jakarta saat urun rembuk yang dilakukan Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) bersama PP Aisyiyah, PP Muslimat NU dan para mitra, Sabtu (16/12/2023).
Ketua bidang advokasi YAICI, Yuli Supriati mengatatakan, kampanye penanganan stunting yang selama ini di gaungkan tidak berdasar pada persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Selama ini narasi mengatasi stunting adalah dengan ASI ekslusif. Ibu itu bukannya tidak mau memberikan ASI ekslusif untuk anaknya, tapi karena tidak mampu, karena bekerja, karena kondisi kesehatan dan ibu meninggal.
“Anak-anak yang tidak mendapat ASI ekslusif ini larinya ke kental manis,” katanya.
Roesmarni Rusli dari Repdem mempertanyakan mekanisme pengawasan peredaran produk dengan kandungan gula yang tinggi di masyarakat. Produk kental manis, berdasarkan PerBPOM NO 31 th 2018, sudah di atur bahwa pada labelnya tidak boleh menyertakan kata susu, seharusnya di tulis krimer kental manis.
“Sekarang, kalau kita lihat, pad akemasan kental manis kembali lagi mencantumkan susu kental manis, ini apakah BPOM kembali merubah peraturannya atau memang tidak ada pengawasan terhadap ini?,” katanya.
Penata kependudukan dan KB ahli madya Dr Maria Gayatri SSi MAPS yang turut hadir dalam kesempatan itu mengakui, persoalan kental manis seharusnya mendapat perhatian lebih. “Susu kental manis ini jarang sekali dibahas di BKKBN, nanti akan disampaikan ke pimpinan,” katanya.
Dokter anak RS Mayapada dr. Kurniawan Satria Denta mengatakan, salah satu kunci mencegah stunting adalah kualitas protein yang diberikan untuk anak. Protein yang paling baik adalah protein hewani, telur, ikan susu, ini jenis protein hewani yang tersedia di sekililing. Selain itu, ia juga menyoroti masifnya informasi yang beredar di masyarakat juga memicu pola makan yang salah pada anak.
“Di tiktok saya lihat, ada ibu-ibu memberikan kental manis untuk anak yang belum 1 bulan. Saat ibu-ibu lain melihat dan mereka tidak dibekali edukasi gizi yang cukup, bisa saja dia meniru perilaku ini. Ini menurut saya juga harus di atasi,” katanya.
YAICI dengan para mitra berkomitmen untuk terus meningkatkan upaya edukasi, memperkuat pemahaman tentang gizi yang baik, dan bekerja sama dengan pemerintah daerah serta pihak terkait guna mengatasi akar permasalahan yang menyebabkan gizi buruk dan stunting. Hasil dari urun rembuk bersama para mitra tersebut diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintaha dan seluruh stakeholder terkait untuk bersama-sama bergerak mengatasi stunting.
Editor : Rinna Ratna Purnama
Artikel Terkait