Titi melihat, putusan hakim tersebut sarat akan muatan politis. Sebab, terjadi pergeseran pertimbangan hukum karena aspek politisasi yudisial atau politisasi atas putusan Mahkamah Kontitusi yang diakui sendiri oleh hakim.
Lebih lanjut Titi mendorong dilakukan pemeriksaan secara etis yang serius pada para hakim Mahkamah untuk memulihkan kredibilitas MK.
Di sisi lain, Titi mendukung kepemimpinan anak muda. Namun, bukan dengan cara sembrono dan menerabas etika bernegara.
Di kesempatan yang sama, Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (BPN PBHI), Julius Ibrani juga buka suara mengenai putusan MK tersebut dimana dapat dilihat kebrutalan sebuah oligarki. Menurutnya, rezim oligarki melegitimasi kebrutalannya melalui MK.
"Itu despotik namanya, dan itu hanya oleh satu kekuasaan politik yang namanya eksekutif," cetus Julius.
Kesimpulan yang dirumuskan di akhir acara adalah, meski memang keputusan MK sudah final, sebenarnya masih ada penjaga gawang, yaitu partai politik (parpol).
Parpol bisa saja menganggap putusan MK bermasalah. Terlepas, putusan MK tersebut sah secara hukum dan harus dihormati.
Para pakar melihat ada risiko bagi partai politik sebagai salah satu gatekeeper mengandalkan putusan MK ini sebagai dasar memajukan Gibran Rakabuming ke bursa Pilpres, karena dari prosesnya, putusan tersebut tidak aklamasi, ambigu, tidak ada legal standing, dan mengandung benturan kepentingan yang akut.
Para pakar hukum juga senada dalam menilai putusan tersebut dapat merongrong nilai demokrasi melalui otoriterisme Mahkamah Konstitusi yang seharusnya menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusional hukum.
Editor : M Mahfud
Artikel Terkait