JAKARTA, iNewsDepok.id - Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Eks Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin dan HJ selaku Sub Koordinasi RKAB Kementerian ESDM sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penambangan ilegal di IUP PT Antam di Blok Mandiodo.
"Sampai saat ini sudah menetapkan tersangka 10, yang hari ini kita tetapkan dua tersangka. Atas nama RJ selaku mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara di Kementerian ESDM dan yang kedua atas nama HJ selaku Sub Koordinasi RKAB Kementerian ESDM," kata Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedan dalam keterangan tertulis, Kamis (10/8/2023).
Dalam keterangan terpisah Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sultra, Patris Yusrian Jaya melalui Asisten Intelijen (Asintel) Kejati Sultra, Ade Hermawan menyita uang tunai sekira Rp75 miliar yang terdiri dari pecahan mata uang rupiah, dolar Amerika (USD) dan dolar Singapura (SGD).
"Uang tersebut dari Direktur PT. Kabaena Kromit Prathama (KKP) inisial AA dan para tersangka lainnya," katanya dalam keterangan tertulis.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama PT Kabaena Kromit Pratama (KKP) berinisial AA melalui pengacaranya, Aloys Ferdinand membantah kabar yang menyebutkan Kejati Sulawesi Tenggara melakukan penyitaan uang tunai senilai Rp 75 miliar dari kliennya.
Uang tersebut dinyatakan sebagai barang bukti dalam kasus dugaan korupsi pertambangan ilegal di IUP PT Antam Tbk di Blok Mandiodo, Konawe Utara.
"Klien kami AA selaku Dirut PT KKP hanya menandatangani surat sita atas 11 rekening dan Penyitaan atas 11 lembar Rekening Koran dari 11 Rekening milik PT. KKP dan Pribadi dari Tersangka AA selain dari itu tidak ada." kata Aloys.
Aloys mengatakan, penyitaan dari kliennya dalam bentuk rekening koran bukan uang tunai, baik mata uang rupiah, maupun dolar. Dari 11 rekening koran PT KKP sendiri bila dijumlah saldonya kurang lebih sekitar Rp 53 miliar. Dan dipastikan tidak ada rekening atau uang tunai dalam pecahan mata uang asing.
Dalam perkara ini, PT KKP pun memastikan tidak pernah menerima uang dari hasil penjualan ore nikel yang diduga diambil di lokasi IUP PT Antam.
PT KKP tidak mengetahui apakah nikel yang dijual pada periode tahun 2022 yang memakai dokumen PT KKP merupakan hasil penambangan Dari IUP Antam. Sebab PT KKP hanya meminjamkan dokumen saja.
"Jangankan menerima (uang korupsi), mengetahui nilai jual (ore nikel) pun enggak, jadi KKP dalam dokumen yang diberikan itu tidak mencantumkan ke rekening mana itu pembayaran ditransfer, karena masuk ke rekening peminjam dokumen," jelas Aloys.
Atas Dokumen Tersebut, PT KKP juga tetap melakukan pembayaran PNBP sesuai dengan nilai yang telah dikeluarkan oleh surveyor. PT KKP sendiri hanya menerima upah atas dokumen tersebut sebesar 3 sampai 5 dolar per metrik tonnya.
"Klien kami baru menjabat 3 bulan sebagai direktur PT KKP. Bahwa klien kami sama sekali tidak mengetahui kegiatan penambangan yang dilakukan PT Lawu sebagai KSO dari Antam," ungkap Aloys.
Atas dasar itu, Aloys menyoroti penetapan tersangka kepada kliennya. Sebab, berdasarkan dokumen terbang yang telah dimiliki kejaksaan, penyidik kejaksaan bisa menelusuri aliran dana penjualan.
Bila kliennya disalahkan karena menerbitkan dokumen terbang, maka seharusnya sanksi yang diberikan dalam bentuk administrasi sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang masuk dalam dugaan tindak Pidana Illegal Mining.
Dalam Perkara Illegal Mining juga, harus bisa dibuktikan secara terperinci siapa yang melakukan penambangan, kapan dilakukan penambangan, proses pengangkutan nikel tersebut, dan kapan serta siapa yang memasukan kedalam tongkang maupun stock field.
"Sampai sekarang jaksa belum bisa membuktikan si penjual dari barang milik Antam, siapa yang menjualnya, yang menggunakan dokumen KKP, karena klien kami hanya meminjamkan dokumen saja, dia tidak tahu apakah itu barang diambil dari IUP PT. Antam atau dari wilayah IUP lain tidak tahu," imbuhnya.
Aloys juga berpendapat sepertinya jaksa belum bisa membuktikan bahwa ore nikel yang dijual dalam perkara ini adalah benar diambil dari dalam IUP PT. Antam. Pasalnya di blok Mandiodo ini terdapat banyak IUP lain, tidak hanya Antam jika ini masuk dalam kategori Illegal Mining.
"Sampai saat ini Jaksa belum memberikan kepada klien kami berapa nilai kerugian negara atas penggunaan Dokumen PT KKP. Dan klien kami sangat keberatan atas pemberitaan saat ini yang menyebutkan bahwa Antam mengalami kerugian sebagaimana pemberitaan yang beredar. Sebab berdasarkan perhitungan klien kami atas penggunaan dokumen terbang PTnKKP, nilainya hanya kurang lebih 600.000 metrik ton saja, dari 1.500.000 metrik ton kuota yang dimiliki PT. KKP," ucapnya.
"Selain itu, 2022 KKP juga menambang di IUP sendiri, tidak seluruhnya itu penghasilan KKP dari dokumen terbang, kita punya bukti itu dan kontraktor yang mengerjakan, dan kuota PT. KKP sampai dengan akhir Tahun 2022 tersisa sebesar 300.000 metrik ton. Selain itu KKP di sini dia sendiri nggak pernah tahu, nggak pernah berhubungan dengan pihak Antam," pungkas Aloys.
Selain dari pada itu, Alloys menjelaskan bahwa ore nikel yang berada di stock field PT KKP sebanyak 50.000 MT. Berdasarkan keterangan AA tidak pernah menerima dan menandatangani berita acara penyitaan atas itu.
Sehingga tidak dapat dipersalahkan dikemudian hari jika atas ore nikel tersebut dijual oleh PT KKP.
Penyitaan barang bukti ini sendiri disampaikan oleh Asintel Kejati Sultra Ade Hermawan mengatakan, pihaknya menyita barang bukti uang senilai Rp 75 miliar dari mata uang rupiah, USD dan SGD dari tersangka berinisial AA selaku Dirut PT. KKP dan tersangka lainnya.
Barang bukti lainnya yakni ore nikel sebanyak 161.740 MT dari stock field PT LAM, ore nikel dari stock field PT KKP sebanyak 50.000 MT, rumah milik WAS di Kota Bekasi, Jawa Barat, satu unit nobil Honda Accord milik PT LAM yang dikuasai oleh GL, hingga dokumen dari Kantor PT LAM dan PT Antam Tbk di Blok Mandiodo.
Editor : M Mahfud
Artikel Terkait