Sistem ini diterapkan langsung tanpa kajian atau pengujian yang komprehensif. Padahal sistem ini menggunakan fixed time traffic signal dan kurang teratur, sehingga sistem vehicle activated control ini tidak cocok dengan lalu lintas di lapangan dan tingkat kepadatannya melebihi 0,7, sehingga menjadi masalah.
"Sebagai contoh, sistem ethics balance dari Jerman pernah diterapkan di salah satu kota di Indonesia. Sistem ini tidak berhasil terbukti dengan tingkat kepadatan lalu lintas di atas 0,7. Hal ini karena di Jerman, kondisi kendaraan melaju di satu jalur dan tidak ada motor. Kondisi ini tentunya berbeda dengan di Indonesia. Oleh karena itu, produk dari luar negeri belum tentu bisa digunakan di Indonesia tanpa melalui kajian yang komprehensif dan dapat dibuktikan," jelas Budi, yang juga merupakan pakar transportasi dari Universitas Negeri Sebelas Maret.
Masyarakat seharusnya mendapatkan informasi yang jelas mengenai implementasi dan hasil dari penerapan sistem ini, serta agar dapat dikaji dan diuji oleh para pakar. Hal ini penting untuk melakukan evaluasi bersama apakah sistem ini bermanfaat bagi masyarakat dan layak untuk diterapkan di seluruh simpang di DKI Jakarta.
Jangan sampai penerapan sistem tersebut tidak diuji dengan kondisi lalu lintas yang ada di DKI Jakarta dan berpotensi menyebabkan kerugian negara. Oleh karena itu, pemerintah, dalam hal ini Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, perlu lebih transparan dan melakukan kajian yang lebih mendalam untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta yang belum terselesaikan.
"Kontrol lampu lalu lintas sangat penting untuk mengurai kemacetan yang disebabkan oleh antrian kendaraan di persimpangan lampu lalu lintas, terutama jika menggunakan teknologi baru yang lebih canggih. Oleh karena itu, perlu dilakukan proof of concept atau kajian yang komprehensip
Editor : Vitrianda Hilba Siregar
Artikel Terkait