JAKARTA, iNewsDepok.id - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly mengatakan dalam rekomendasi Financial Action Task Force (FATF), notaris menjadi salah satu unsur penting, yang dievaluasi perannya dalam pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme (TPPU dan TPPT).
"Selama MER dengan FATF lalu, aktivitas notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik menjadi perhatian. Peran strategis notaris dalam tatanan hukum di Indonesia, khususnya dalam interaksi masyarakat terkait hubungan keperdataan, diwajibkan untuk menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa (PMPJ), mengenali beneficial owner dan melaksanakan kewajiban pelaporan transaksi keuangan mencurigakan," kata Yasonna saat Pelantikan Pengganti Antar Waktu Majelis Pengawas Wilayah Notaris (MPWN) dan Majelis Kehormatan Notaris Wilayah (MKNW) Periode Tahun 2022-2025, di Jakarta (3/5/2023).
Yasonna menjelaskan hasil MER lainnya yang menjadi sorotan negara anggota FATF adalah pencegahan TPPT dan TPPU sektor penyedia barang dan jasa, termasuk sektor notaris belum terimplementasi secara maksimal.
Salah satu tugas dan tantangan dalam mendorong peningkatan nilai dari umum menjadi substansial khususnya terkait hasil langsung atau Immediate Outcomes (IO) 3 dan IO 5, yang menjadi tanggung jawab Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), dengan mendorong peran dan fungsi sebagai Lembaga Pengatur dan Pengawas (LPP), yang di delegasikan kepada MPWN dan MKNW untuk melakukan pembinaan sekaligus pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan notaris.
"Untuk itu diperlukan sosialisasi terkait kewajiban menerapkan PMPJ oleh notaris dan juga materi terkait TPPT dan TPPU harus dilakukan di wilayah kerja anggota MPWN dan MKNW," imbuhnya.
Yasonna mengatakan dirinya telah menyampaikan pentingnya peningkatan efektivitas pembinaan dan pengawasan terhadap notaris. Pengawasan ini penting, karena beberapa tahun terakhir semakin sering menerima pengaduan, baik dari masyarakat maupun Aparat Penegak Hukum (Apgakum) terkait permasalahan yang disebabkan oleh perilaku oknum notaris yang tidak profesional dan tidak bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya.
Sebagai contoh, Yasonna menjelaskan, terdapat beberapa laporan masyarakat yang diterima terkait kasus hilangnya kepemilikan saham, kasus semacam ini yang paling banyak ditemukan.
Bersama dengan kasus perubahan pengurus yayasan dan perkumpulan secara tiba-tiba, akibat kelalaian dan ketidaktelitian notaris yang tidak profesional dan seksama dalam membuat akta, termasuk mengabaikan riwayat akta sebelumnya.
"Akta tersebut kemudian didaftarkan pada Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) yang sepenuhnya online dan aksesnya hanya dapat dilakukan oleh notaris, yang kemudian, akibat ketidak hati-hatian notaris terjadi peralihan pemegang saham, atau terjadi pergantian sebagai pengurus tanpa melalui RUPS yang benar. Hal seperti ini bukan hanya karena tidak teliti, namun sering kali justru karena unsur kesengajaan," jelas Yasonna.
Yasonna menegaskan MPWN dan MKNW tidak perlu ragu untuk memberikan persetujuan kepada aparat penegak hukum untuk memeriksa notaris dalam rangka penegakan hukum dan membantu masyarakat yang mengalami kerugian dari tindakan notaris yang tidak profesional.
Dalam memberikan persetujuan untuk pemeriksaan notaris hendaknya dilakukan secara proporsional dan tidak diberikan secara sembarangan, namun persetujuan atau penolakannya harus berdasarkan pertimbangan hukum yang komprehensif.
"Harus dipahami saat ini jumlah notaris sangat banyak, muncul persaingan untuk mendapatkan klien, sehingga banyak notaris yang memang menyediakan jasa dan adanya persaingan tidak sehat dalam melakukan pelayanan terhadap masyarakat yang membutuhkan jasa notaris yang pada akhirnya berpotensi menghilangkan kepercayaan masyarakat, tidak hanya kepada notaris, tapi juga kredibilitas MPWN dan MKNW serta Kemenkumham," ujar Yasonna.
Lebih jauh, dia menambahkan kepada MPWN dan MKNW dalam memberikan persetujuan untuk pemeriksaan notaris yang diduga terlibat kasus hukum hendaknya dilakukan secara proporsional dan tidak diberikan secara sembarangan, namun persetujuan atau penolakannya harus berdasarkan pertimbangan hukum yang komprehensif.
Pelaksanaan tugas terkait pemberian izin ini, seringkali dianggap menghambat proses penyidikan dan penegakan hukum. Pandangan ini tentu tidak benar.
"Untuk dapat mengubah pandangan tersebut, kita perlu membangun komunikasi yang baik dengan aparat penegak hukum guna memastikan bahwa mereka memahami adanya proses pemeriksaan oleh MKN sebelum memutuskan memberikan persetujuan atau penolakan permintaan pemeriksaan dari aparat penegak hukum. Pastikan juga bahwa terhadap penolakan izin pemeriksaan dan pemanggilan," tutupnya.
Editor : M Mahfud
Artikel Terkait