Koordinator massa, Malik mengatakan aksi tersebut dilakukan karena kondisi air Sungai Malili saat ini menjadi keruh dan tak lagi jernih seperti dulu.
"Airnya keruh tidak bersih dan tidak bisa lagi digunakan untuk mencuci dan minum,” kata Malik.
Menurutnya pemerintah harus memanggil seluruh perusahaan tambang untuk menjelaskan kemana limbah meraka dibuang dan kalau bisa disosialisaikan ke masyarakat.
"Aksi ini juga hanya sebagai pemantik dan rencananya akan ada aksi lanjutan,” ujar Malik.
Sementara itu, Badan Koordinasi Nasional Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Mahasiswa Islam (Bakornas LKBHMI) PB HMI, sebelumnya telah melaporkan PT CLM ke Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen Gakkum KLHK).
Wakil Direktur Eksekutif Bakornas LKBHMI PB HMI, Ibrahim Asnawi menyebut jika laporan tersebut terkait dengan dugaan permasalahan izin serta pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup akibat kegiatan tambang nikel PT CLM yang beroperasi di Kecamatan Malili Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan.
“Kita memiliki kewajiban untuk menjaga dan melesatarikan lingkungan kita. Setiap orang berhak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat, itu merupakan hak asasi yang dijamin dalam Pasal 28 H Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Kita harap Gakkum KLHK menindaklanjuti pelaporan ini,” kata Ibrahim.
Bakornas LKBHMI PB HMI pun mendesak Gakkum KLHK untuk melakukan penegakan hukum secara serius dan komprehenship untuk menindak tegas dugaan adanya perusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas penambangan nikel PT CLM.
Menurutnya, PT CLM yang kini dikuasai Zainal Abidin Siregar ini bisa dijerat pidana maupun sanksi administrasi seperti diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) maupun pada Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.
Sebelumnya diberitakan PT CLM sedang mengalami konflik kepemilikan saham yang melibatkan Wamenkumham EOSH. Kasusnya sendiri telah dilaporkan oleh Indonesia Police Watch (IPW) ke KPK.
Editor : Kartika Indah Kusumawardhani
Artikel Terkait