JAKARTA, iNewsDepok.id - Menurut sebuah riset yang dilakukan oleh Divisi Psikiatri Anak dan Remaja, Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia, anak muda berusia 16-24 tahun sedang berada di periode kritis dan rentan mengalami gangguan kesehatan mental.
Berdasarkan penelitian tersebut, sebanyak 95,4% responden menyebutkan bahwa mereka pernah mengalami gejala kecemasan, dan 88% pernah mengalami gejala depresi.
Akibatnya, diskusi mengenai kesehatan mental pun semakin umum ditemukan, terutama di kalangan generasi Z.
Media sosial turut berperan besar dalam hal ini, dengan banyaknya konten mengenai kesehatan mental yang diunggah serta dapat diakses dengan mudah.
Fenomena ini menyebabkan kesadaran dan pemahaman tentang kesehatan jiwa semakin meningkat.
Di sisi lain, banyaknya konten seputar gangguan kesehatan mental yang muncul di media sosial juga menimbulkan tren self-diagnosis di kalangan anak muda.
Padahal, melakukan self-diagnosis tidak dianjurkan, bahkan dapat membahayakan diri sendiri.
Bahaya yang dapat ditimbulkan misalnya, mengonsumsi obat yang tidak tepat atau tidak dapat membedakan gejala yang sebenarnya disebabkan oleh penyakit fisik.
Namun tentunya tidak semua generasi muda mengikuti ‘tren’ self-diagnosis ini.
Berdasarkan wawancara singkat yang dilakukan bersama 5 mahasiswa di Jakarta, mereka menyebutkan bahwa meskipun mereka dapat ‘relate’ dengan suatu konten, tapi mereka telah menyadari bahwa diagnosis akan suatu kondisi kejiwaan hanya dapat dilakukan oleh profesional di bidang tersebut.
Berikut beberapa tips yang bisa dilakukan agar tetap kritis ketika menerima informasi dan menghindari akibat buruk dari self-diagnosis:
Melihat sumber informasi yang didapatkan dari media sosial.
Berbagai jenis informasi dan konten bermanfaat kini bisa didapatkan dari media sosial, tapi tidak semua terjamin keakuratannya.
Sebagai audiens, kita juga perlu memilah informasi yang kita konsumsi. Ada baiknya kita memilih konten kesehatan mental yang memang dibuat oleh ahlinya, seperti psikolog, psikiater, atau lembaga resmi yang menangani kondisi kejiwaan.
Mengonsumsi konten-konten tersebut dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita, tapi hindari menarik kesimpulan sebelum berkonsultasi dengan dokter yang berwenang.
Tidak menjadikan selebritas, tokoh fiktif, atau penderita gangguan mental lainnya sebagai rujukan.
Terkadang, ketika melihat pengalaman orang lain di media sosial, kita dapat menemukan adanya kesamaan gejala atau kondisi yang dirasakan.
Kesamaan tersebut mungkin dapat mendorong kita untuk mengambil kesimpulan bahwa kita mengalami kondisi kejiwaan yang sama pula.
Meski terdapat kemiripan, penting untuk diingat bahwa kondisi mental tiap orang tentunya kompleks dan tidak dapat disamakan.
Hindari terlalu percaya pada tes kondisi mental yang tersedia secara daring.
Begitu banyak tes mengenai kondisi kesehatan mental yang beredar di internet.
Umumnya, tes-tes online tersebut tidak dapat menilai sebuah gejala secara spesifik dan hanya bergantung pada gambaran umum saja sehingga kredibilitasnya tidak terjamin.
Konsultasi bersama ahlinya.
Jika memiliki pertanyaan atau merasakan gejala yang mengganggu, jangan ragu untuk konsultasi bersama psikolog atau psikiater.
Banyak faktor yang menjadi pertimbangan dalam sebuah diagnosis, yang hanya diketahui oleh ahlinya.
Dewasa ini, melakukan konsultasi kesehatan mental juga semakin mudah dilakukan. Banyak metode yang tersedia, seperti melalui video call, aplikasi mobile, dan juga pertemuan langsung.
Itu dia tips yang dapat dilakukan agar kita tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan dan terhindar dari akibat buruk self-diagnosis.
Tidak hanya media sosial, kita juga dapat menemukan informasi lebih lanjut seputar kesehatan mental dan pengembangan diri melalui berbagai situs web dan blog terpercaya.
Editor : M Mahfud
Artikel Terkait