Menepis Mitos Kehamilan, Prenagen Kampanyekan “Siapa Takut Jadi Ibu!”

JAKARTA, iNews.id - Peringatan Hari Kartini pada 21 April tahun ini, membawa angin segar dalam diskusi seputar kehamilan dan persiapan menjadi ibu, terutama bagi generasi Z. Sebuah diskusi menarik menghadirkan Psikolog Keluarga Samanta Elsener S.PSI., M.PSI, Shania Junianatha atau Mom Sanju (Penyanyi dan Figur Publik yang juga seorang Ibu), Namira Adzani (Content Creator), Junita (Brand Group Manager PRENAGEN), dan dr. Ardiansjah Dara Sjahruddin, SpOG, MKes, FICS, FESICOG. Bertempat di Cerita Rasa Restaurant, Cilandak, Jakarta Selatan pada Senin, 21 April 2025, bersama-sama mengupas berbagai perspektif dan memberikan pencerahan bagi para calon ibu dan ibu hamil.
“PRENAGEN sebagai sahabat dari calon modern mom dan para moms masa kini, memahami bahwa kehamilan bukan sekadar proses biologis. Di tengah-tengah itu, ada banyak dinamika emosional, tekanan sosial, dan pertimbangan personal yang tidak selalu terlihat. Sayangnya, banyak perempuan yang masih dituntut harus “siap” secara instan tanpa ruang untuk beradaptasi, memahami betul transformasi ini secara menyeluruh ataupun jujur terhadap keraguan dan ketakutan yang mereka rasakan,” tutur Junita.
Dalam semangat Hari Kartini yang identik dengan perjuangan dan peran perempuan, Kalbe Nutritionals melalui PRENAGEN, brand nutrisi kehamilan terpercaya di Indonesia, dengan bangga meluncurkan kampanye “Siapa Takut Jadi Ibu!”. Melalui inisiatif ini, PRENAGEN ingin mengajak perempuan untuk melihat kehamilan dan peran ibu dengan perspektif baru, bersama-sama mengubah stigma atau mitos yang masih banyak melekat dan mendukung perempuan untuk dapat menjalani proses kehamilan dengan percaya diri.
Psikolog Samanta Elsener membuka diskusi dengan meluruskan anggapan bahwa masalah hormonal hanya dialami segelintir orang. Ia menekankan bahwa perubahan hormonal yang dialami ibu hamil jauh lebih signifikan, dan setiap individu meresponsnya secara berbeda, dipengaruhi oleh faktor hormonal dan psikologis. Dukungan dari lingkungan sekitar, terutama support system yang kuat, menjadi kunci penting. Samanta juga menyinggung adanya insting keibuan yang secara alami dimiliki perempuan.
Menariknya, Samanta membandingkan pandangan generasi milenial dan generasi Z terkait memiliki anak. Generasi milenial, di masanya, cenderung memiliki anak di usia muda, bahkan di usia 20-an, sehingga jarang terjadi jurang generasi dengan anak-anak mereka di usia 40-an. Sementara itu, generasi Z menunjukkan tren yang berbeda. Mereka lebih fokus pada pencapaian prestasi sebelum berkeluarga, cenderung menunda pernikahan, dan memiliki anak dengan perencanaan yang matang. Mereka memiliki kesadaran yang lebih tinggi tentang kapan waktu terbaik dan paling sehat untuk hamil, serta keinginan untuk memberikan yang terbaik bagi buah hati mereka.
Salah satu isu yang sering dihadapi perempuan, terutama yang sudah menikah, adalah pertanyaan "kapan hamil?". Samanta memberikan tips cerdas untuk menghadapinya. Menurutnya, seringkali pertanyaan tersebut hanyalah salah satu cara untuk membuka percakapan. Alih-alih merasa tertekan, jawaban santai dan mencairkan suasana seperti "ih, kepo banget deh lu" bisa menjadi tameng yang efektif. Yang terpenting, yakinkan diri bahwa pertanyaan tersebut tidak perlu mengganggu.
Peran dukungan pasangan juga menjadi sorotan penting. Empati dari pasangan dan orang-orang terdekat memiliki nilai yang tak ternilai bagi ibu hamil. Ibu hamil yang bahagia akan melahirkan anak yang bahagia pula. dr. Ardiansjah Dara Sjahruddin menambahkan, secara ilmiah, hormon oksitosin pada ibu hamil mencapai puncaknya saat masa kehamilan, semakin menggarisbawahi pentingnya menciptakan suasana hati yang positif.
Shania pun berbagi pengalamannya sebagai seorang ibu. Awalnya, ia mengaku terlalu banyak berpikir ke depan, namun ternyata, saat menjalani peran sebagai ibu, ia justru bisa menikmati setiap momennya. Senada dengan itu, Namira Adzani, yang tengah menanti kehadiran buah hati selama lima tahun pernikahan, menceritakan bagaimana seringnya ia menerima pertanyaan "kapan isi" sejak dua tahun awal pernikahannya. Ia menekankan pentingnya komitmen untuk memiliki anak, yang sejalan dengan komitmen pernikahan seumur hidup. Persiapan yang matang, diskusi dengan pasangan, belajar parenting dari teman, dan perencanaan keuangan menjadi hal yang krusial sebelum memutuskan untuk memiliki anak. Meskipun seringkali merasa terbebani dengan pertanyaan, melihat lingkungan sekitar dimana seorang ibu yang masih tetap bisa berkarya, membuatnya lebih bisa berdamai dengan proses yang sedang dijalani.
Editor : M Mahfud