“Aparat menjadi kian reaktif usai dipanggil atau mendapat atensi dari Komisi III DPR,” ungkap pengajar program Pascasarjana di berbagai universitas di tanah air termasuk di Universitas Indonesia (UI) itu.
“Contohnya pada kasus penembakan siswa SMA bernama Gamma yang dilakukan oknum polisi hampir saja menjadi tidak tertangani dengan profesional andaikan tidak ada ‘cawe-cawe’ dari Komisi III DPR,” imbuh Ari.
Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama Institute itu menambahkan, hal yang sama juga terjadi dalam kasus penganiayaan pegawai toko roti di Jakarta Timur. Jika tidak menjadi perhatian DPR, Ari menilai kasus tersebut akan luput dari atensi polisi.
“Termasuk dengan kasus dugaan kriminalisasi sopir di Palangkaraya yang terkait dengan pembunuhan oleh oknum polisi,” ujarnya.
Ari juga menyoroti sikap sejumlah anggota DPR, termasuk anggota Komisi III DPR, yang sering menyuarakan kasus-kasus hukum lewat akun media sosialnya. Apalagi beberapa anggota DPR langsung ‘mencolek’ akun medsos resmi penegak hukum terkait.
“Saya kerap berinteraksi dengan personel-personel Polri. Betapa mereka takut dan merasa ngeri jika media sosial yang dipunyai anggota dewan memposting kelakuan negatif anggota Polri di lapangan,” ungkap Ari.
"Harus diakui, strategi jemput bola dan tidak menunggu viral dari langkah pengawasan Komisi III DPR memberikan warna tersendiri bagi parlemen,” lanjutnya.
Ari menyatakan, hal tersebut membuat DPR tidak lagi dianggap hanya menjadi ‘tukang stempel’ terhadap kebijakan pemerintah.
Editor : Mahfud