Penurunan daya beli di tingkat rumah tangga yang akan turun akibat kenaikan PPN diprediksi akan menurunkan konsumsi domestik hingga 0,37 persen atau Rp40,68 triliun, yang pada akhirnya dapat menggerus produk domestik bruto (PDB) hingga Rp65,33 triliun. Kondisi ini dikhawatirkan memperburuk ketimpangan ekonomi antara kelompok kaya dan miskin.
Sektor usaha juga disebut tak luput dari dampak kenaikan PPN. Industri manufaktur, UMKM, dan sektor padat karya berpotensi akan menghadapi penurunan permintaan akibat turunnya daya beli masyarakat. Pada akhirnya roda ekonomi di sektor riil berpotensi melambat yang dikhawatirkan memicu gelombang PHK di tahun-tahun mendatang.
Puan pun berharap Pemerintah menyiapkan langkah-langkah lanjutan untuk menghadapi berbagai tantangan yang akan timbul akibat kenaikan PPN 12 persen meskipun pemerintah juga berencana memberikan insentif perpajakan senilai Rp445 triliun dengan sasaran penerima manfaat adalah UMKM, dunia usaha, dan rumah tangga.
“Sektor padat karya seperti industri tekstil sudah mengalami pelemahan selama beberapa waktu terakhir. Semoga kenaikan PPN ini tidak memperparah keadaan,” ujarnya.
Dalam kebijakan kenaikan PPN, Pemerintah memberikan pengecualian untuk barang-barang kebutuhan pokok (sembako) dan jasa tertentu. Barang-barang seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu, serta jasa pendidikan dan kesehatan tidak akan dikenakan PPN.
Walaupun begitu, kenaikan harga diprediksi tetap akan terjadi karena efek turunan dan interkonektivitas rantai pasok pangan yang membebani pengusaha. Hal itu lantaran PPN bersifat multistage tax atau dikenakan ke setiap jenjang rantai produksi dan distribusi.
"Pemerintah harus memiliki langkah antisipasinya apabila kenaikan harga bahan pokok terjadi akibat kenaikan PPN,” imbau Puan.
Editor : Mahfud