JAKARTA, iNews Depok.id — Golkar Institute merilis hasil survei nasional perdananya yang menyoroti respon publik terhadap isu lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. Dalam rilisnya, sekitar 30,6 persen masyarakat menganggap masalah lingkungan hidup masih menjadi masalah yang mengganggu.
Survei ini mengungkapkan bahwa isu lingkungan hidup semakin menjadi perhatian mendesak bagi masyarakat Indonesia. Dalam sambutannya di pembukaan pelatihan YPL ke-17, Ace Hasan Syadzily, Ketua Golkar Institute, yang juga menduduki jabatan Gubernur Lemhannas RI, menyatakan bahwa sejak berdirinya Golkar Institute pada 2020, Golkar Institute sangat memperhatikan isu lingkungan hidup.
“Pada era kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup menjadi kementerian terpisah (regenerasi), sehingga ini telah menjadi perhatian khusus, efisiensi dan fokus pelaksanaan tugas untuk pembangunan berkelanjutan dan menjadi elemen kunci untuk memastikan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan sosial. Golkar Institute percaya bahwa generasi muda harus memimpin perubahan ini,” kata Ace, dalam sambutan pelatihan YPL angkatan ke-17 di Kelas Golkar Institute, DPP Partai Golkar, Jakarta, Senin (2/12/2024).
Ace juga menegaskan bahwa Golkar Institute konsisten mengangkat isu lingkungan hidup dan keberlanjutan sebagai salah satu topik yang harus menjadi perhatian pemimpin politik muda.
"Survei ini diharapkan berguna bagi pihak yang ingin mengangkat isu lingkungan hidup. Bagi partai politik atau politisi, survei ini dapat membantu mengidentifikasi elemen masyarakat yang sudah memiliki ketertarikan maupun terpapar pada masalah lingkungan hidup. Sementara bagi pegiat lingkungan hidup, hasil survei ini dapat membantu mengidentifikasi segmen masyarakat yang masih perlu diedukasi, agar semakin banyak pihak yang memperkuat kepeduliannya pada masalah ini,” tambahnya.
Selanjutnya, dalam pemaparan hasil survei, Mulya Amri, Faculty Chair Golkar Institute, menyoroti tingkat gangguan yang dirasakan masyarakat terkait isu lingkungan hidup.
“Sebanyak 30,6 persen responden menyatakan bahwa masalah lingkungan hidup sangat mengganggu atau cukup mengganggu kehidupan mereka. Selain itu, 18,1 persen responden melaporkan sering atau sangat sering merasakan dampak langsung dari masalah lingkungan hidup,” ungkap Mulya.
Golkar Institute juga menanyakan lebih dalam mengenai masalah utama yang dihadapi masyarakat Indonesia terkait isu lingkungan hidup. Pada masalah ketersediaan air bersih, 41,8 persen responden melaporkan terkadang hingga sangat sering mengalami masalah ini dan 27,8 persen mengatakan masalah ini cukup dan sangat mengganggu. Pada masalah pencemaran udara, sebanyak 44 persen responden melaporkan pernah mengalami pencemaran udara, dan 43,7 persen menyatakan merasa terganggu. Sementara itu, 62,5 persen responden mengaku terkadang hingga sangat sering mengalami masalah lingkungan yang kotor, dengan 35,7 persen merasa cukup dan sangat terganggu oleh kondisi ini.
Masalah pemanasan global juga menjadi perhatian serius. Sebanyak 52,8 persen responden cukup dan sering mengalami dampak langsung dari kenaikan suhu bumi, dengan 49,1 persen menyatakan bahwa fenomena ini cukup hingga sangat mengganggu. Sebanyak 74,9 persen responden pernah mendengar istilah pemanasan global, namun hanya 19,4 persen yang mengaku sangat memahami dampak dan akar permasalahan ini.
Sebaliknya, istilah seperti energi terbarukan hanya dipahami oleh 6,3 persen responden, mengindikasikan perlunya edukasi lebih lanjut.1
Upaya pemerintah dalam menangani masalah lingkungan dianggap masih kurang oleh sebagian besar masyarakat. Sebanyak 32,9 persen responden merasa bahwa upaya pemerintah dalam menangani masalah lingkungan masih kurang, sementara 33,0 persen menganggap permasalahan ini tidak cukup menjadi perhatian serius.
Hal ini menunjukkan adanya harapan yang tinggi terhadap kebijakan yang lebih tegas dalam mengatasi pencemaran, pengelolaan sampah, dan penyediaan air bersih.
Gita Syahrani, Head of Executive Board Koalisi Ekonomi Membumi, memberikan apresiasi terhadap survei ini. Ia menyoroti perlunya pendekatan komunikasi yang sederhana namun efektif untuk menjangkau masyarakat luas.
“Survei ini menggantikan istilah teknis seperti global warming dengan istilah 'suhu panas bumi yang semakin tinggi,’ yang lebih relevan dan mudah dipahami oleh masyarakat luas. Ini adalah langkah penting dan menjadi insights baru untuk saya pribadi dalam memastikan komunikasi tentang isu lingkungan menjadi inklusif dan efektif,” ujar Gita.
Topik lingkungan hidup ini tidak hanya relevan bagi komunitas terdidik, tetapi juga harus dapat diterjemahkan ke dalam bahasa yang lebih sederhana dan kampanye yang mudah dimengerti. Dengan cara ini, masyarakat umum dapat lebih memahami urgensi dari isu ini dan mengambil tindakan," imbuh Gita.
Sementara itu, Juliarta Ottay, Ketua dan Direktur Mandala Katalika, menyoroti perlunya kebijakan yang inovatif dalam menangani sampah, terutama plastik. “Penerapan pajak tambahan bagi produsen yang menggunakan plastik sulit terurai adalah salah satu langkah strategis. Semakin sulit plastik tersebut terurai, semakin tinggi pajaknya. Langkah ini akan mendorong produsen untuk lebih bertanggung jawab dan memilih material yang lebih ramah lingkungan,” ujar Juliarta.
Selain isu lingkungan hidup, survei ini juga mencatat kondisi kesehatan psikologis masyarakat. Sebanyak 58,5 persen responden menyatakan tidak pernah mengalami kesedihan atau putus asa dalam dua minggu terakhir, namun 34,9 persen mengaku terkadang merasa sedih, dan 6,2 persen sering mengalaminya. Dalam hal kecemasan, 46,3 persen responden sesekali merasa cemas, sementara 12,1 persen sering mengalami kecemasan.
Golkar Institute berharap hasil survei ini dapat menjadi panduan strategis bagi berbagai pihak untuk menciptakan kebijakan yang inklusif dan berorientasi pada keberlanjutan.
Editor : M Mahfud