Ismail menuturkan, agitasi agenda satu putaran oleh kandidat Pilpres tentu sahih sebagai bagian dari injeksi energi bagi tim kampanye dan pendukung. Menjadi persoalan serius ketika agitasi itu didukung dengan survei dan publikasi survei, yang sebenarnya adalah mangkampanyekan pasangan capres dan cawapres tertentu.
Lebih lanjut menurut Ismail, ada dua tujuan tidak etis yang hendak dicapai dari agenda ini:
Pertama, berharap bandwagon effect, agar pemilih mengikuti langkah mayoritas publik yang sudah menentukan pilihan.
Kedua, menyediakan justifikasi akademik-populis, atas kemungkinan tindakan tidak jujur dan segala cara memenangi kontestasi, yang bisa saja dilakukan oleh pihak-pihak tertentu pada semua kandidat.
“Sejalan dengan sajian aneka survei, kampanye pemilu damai dan teduh terus disuarakan tetapi dengan nada suara yang menakutkan,” ujarnya.
Ismail mengatakan, ajakan damai menjadi isu demokrasi dan keadilan Pemilu, karena mengkritik kandidat dianggap bikin gaduh, mendorong netralitas berpotensi berhadapan dengan hukum, mengoreksi dan menjadikan isu pelanggaran konstitusi dan politik dinasti dianggap bikin gaduh dan menebar hoax. Lalu situasi damai dan teduh itu ditujukan untuk apa?
Berbagai keprihatinan ini menjadi kegelisahan publik dan terus akan mewarnai Pilpres dan Pemilu 2024. Keprihatinan ini kini bertransformasi menjadi ketakutan dan teror demokrasi yang mengancam kebebasan sipil.
“Transformasi destruktif ini akan semakin kencang karena posisi benturan kepentingan penguasa dengan kandidat tertentu, sehingga akan sulit menjadi wasit yang netral, sulit menjadi tuan rumah pertandingan yang ramah, meski berulang kali menjamu makan bersama,” kata Ismail.
Setara Institute, ucap Ismail, sebagai salah satu lembaga yang juga sering melakukan survei, mengetuk hati para kolega untuk mengembalikan posisi survei sebagaimana tujuan asalnya. Bukan hanya standar etik yang dipedomani tetapi juga ada nilai kebajikan yang dipromosikan.
“Demi keadilan Pemilu, Setara Institute juga mendorong netralitas genuine yang didukung oleh sistem, standar operasi, dan penyikapan atas dugaan pelanggaran alat-alat negara secara transparan dan berkeadilan. Langkah ini akan efektif hanya jika dimulai dari Presiden Jokowi,” pungkas Ismail.
Editor : Kartika Indah Kusumawardhani