JOGJA, iNewsDepok.id - Jembatan Bantar yang telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), memiliki sejarah panjang terhadap perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda. Bagaimana tidak, jembatan ini pernah menjadi saksi pertempuran pejuang Indonesia yang menghalau pasukan Belanda yang hendak merebut Ibu Kota Negara Indonesia yang saat itu masih berada di Yogyakarta.
Jembatan yang berada Jalan Wates, Sentolo, Kec. Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, DIY, menghubungkan Kabupaten Kulon Progo dengan Kabupaten Bantul yang dibangun di atas Sungai Progo.
Jembatan ini menjadi bukti perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dan sejarah penjajahan Belanda ketika menduduki bangsa ini.
Ketua Dewan Kurator Museum Soesilo Soedarman yang turut melestarikan sejarah di Jembatan Bantar, Indroyono Soesilo mengatakan, jembatan ini dirancang pada 1916 sebagai jembatan gantung dengan teknologi modern pada eranya. Jembatan gantung dipilih karena dianggap lebih tepat jika digunakan di Sungai Progo yang lebar, dan kerap banjir sehingga dibuat dua tiang pancang.
Indroyono menambahkan, pembangunan dimulai pada tahun 1917, namun sempat terhenti karena harga baja melambung tinggi pasca Perang Dunia I. Pembangunan dilanjutkan pada tahun 1928 dan selesai 1929.
Konstruksi baja didatangkan dari Belanda lewat kapal laut, melalui pelabuhan di Cilacap, Jawa Tengah. Hingga selanjutnya dibawa dengan kereta ke Stasiun Sentolo, Yogyakarta.
“Jembatan Bantar diresmikan oleh Gubernur Yogyakarta JE Jasper pada 17 Juni 1929. Total Pembangunan jembatan, sebesar 455.000 Gulden, dibagi rata antara Pemerintah Kolonial Belanda dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat,” kata Indroyono, seperti dikutip MNC Portal Indonesia, Jumat (12/5/2023).
Jembatan ini menjadi salah satu titik pertempuran Belanda dengan pejuang Indonesia melalui Badan/Tentara Keamanan Rakyat (BKR/TKR) yang merupakan cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI), melalui strategi perang gerilya.
Pada Februari 1949, pasukan TNI menyerang kedudukan Belanda di Jembatan Bantar. Selain itu juga pada 1 Maret 1949 untuk mencegah Belanda memperkuat kekuatan di Kota Yogyakarta yang diserang TNI.
“Pada 1 Maret 1995, Jembatan Bantar diresmikan sebagai Monumen Perjuangan oleh Menko Polkam RI pada waktu itu, Jenderal (Purn) Soesilo Soedarman, selaku Ketua Umum Paguyuban Wehrkreise III,” katanya.
Melansir dari buku 'Patra Widya' seri penelitian dan buku 'Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, 1990', pada hari Senin Wage, tepatnya tanggal 27 Desember 1948, pukul 10.00 WIB, Jembatan Bantar diduduki Belanda.
Jembatan Bantar pada masa lalu sebagai sarana utama penghubung Yogyakarta dengan wilayah di Jawa Tengah. Foto: Istimewa
Rumah Pawirodaliyo dijadikan markas Belanda untuk menduduki Desa Bantar melalui dua arah yaitu sebagian dari mereka yang menyerang ke barat Kali Progo dengan merangkak pada jembatan kereta api yang telah dirusak para gerilyawan Pejuang Indonesia. Sedangkan sebagian lagi langsung melalui jembatan Bantar itu sendiri.
Jembatan yang strategis itu dijaga Belanda baik dari titik sebelah timur, yang mana ditempatkan 81 orang serdadu termasuk pemimpinnya, dan di sebelah barat ditempatkan 30 orang serdadu Belanda.
Persenjataan mereka serba lengkap, dapur umum ditempatkan sebelah timur jembatan dengan mengambil juru masak dari rakyat sekitar Desa Bantar.
Dengan mengambil juru masak dari rakyat ini jelas menguntungkan pihak pejuang karena juru masak mengerti secara jelas situasi markas Belanda setiap harinya.
Para pemuda sering menggunakan kesempatan menanyakan kepada juru masak tersebut dan saling memberikan informasi yang menguntungkan perjuangan seperti mengenai tempat penyimpanan persenjataan Belanda, rencana penyerangan yang akan dilakukan Belanda terhadap para pejuang, dan informasi lainnya yang membantu para pejuang. Informasi ini diberikan setelah juru masak itu pulang dari kerja.
Jembatan Bantar saat ini. Foto: iNews Depok/Tama
Oleh para pembesar militer Indonesia ternyata bahwa markas Belanda yang ada di Jembatan Bantar ini mendapat perhatian serius.
Di Kulon Progo yaitu di Desa Semaken pernah ada pertemuan antara Letkol Soeharto (mantan Presiden Indonesia yang kedua), Letkol Sudarto dan Mayor Ventje Sumual, di mana intisarinya adalah Soeharto merasa bahwa serangan umum pada malam hari kurang memuaskan. Sehingga selanjutnya Soeharto bertanya dan meminta pendapat kepada yang hadir pada saat itu apabila menghadapi kondisi seperti ini.
Ventje Sumual mengusulkan bahwa Yogyakarta harus diserang pada siang hari dan Soeharto menyatakan setuju dan dirinya meminta apabila serangan dilakukan pada siang hari dilaksanakan. Selanjutnya Soeharto meminta Letkol Sudarto untuk mengikat kekuatan Belanda yang ada di Jembatan Bantar agar tidak memberikan bantuan ke Yogyakarta.
Letkol Sudarto sebagai pimpinan Sub Wehrkreise (SWK) 106 mengatakan bahwa senja tanggal 28 Februari 1949 pasukan SWK 106 meninggalkan pangkalan masing-masing di Nanggulan (Ton pengawal), Sentolo (Ki Noer Moenir) dan Wates (Satuan Teritorial/gerilya desa) bergerak mendekati sasaran. Pembagian posisinya yaitu Sektor tengah Ton Pengawal Oetoro sedangkan Sektor kiri dan kanan oleh Satuan Teritorial/gerilya desa. Pertempuran di mulai jam 06.00 – 12.00 siang, dan selanjutnya para pejuang mengundurkan diri dan kembali ke pangkalan.
Sebelum dilakukan Serangan umum 1 Maret sebenarnya Jembatan Bantar ini telah diserang juga pada tanggal 4 Februari dan Tanggal 13 Februari 1949 dengan tujuan mengadakan pemanasan atau pengecekan terhadap kesiapan serangan umum siang hari dan untuk pengalihan perhatian Belanda yang berada di luar kota dengan taktik penyesatan untuk mengecoh Belanda.
Jembatan Bantar. Foto: iNews Depok/Tama
Penyerangan tanggal 13 Februari komandan Wehrkreise (WK) III mengerahkan pasukan SWK 103A, SWK 106, Yon 151 dan Kompi Soedarsono dari Batalion III brigade 10. Sehingga serangan ini kembali diulang pada tanggal 23 dan 24 Februari dengan unsur pasukan yang sama dengan sasaran yang sama.
Serangan ini dikatakan berhasil, karena para pejuang mampu menahan gerak laju pasukan Belanda yang datang dari barat, tepatnya dari arah Gombong, Kebumen, Jawa Tengah.
Mengingat saat itu, di kota Jogja para pejuang juga tengah berjuang mati-matian mempertahankan Kota Yogyakarta, yang saat itu sudah menjadi Ibu Kota Negara Indonesia.
Sehingga pada 28 Juni 2021, Jembatan Bantar ditetapkan sebagai Struktur Bangunan Cagar Budaya, melalui Keputusan Gubernur DIY, No.171/KBP/2021. Jembatan ini juga jadi tujuan wisata sejarah yang terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat.
Kondisi Jembatan Bantar saat ini. Foto: iNews Depok/Tama
Editor : Mahfud