“Pihak GKPS lah yang kemudian melaporkan upaya menghalang-halangi peribadatan mereka kepada aparat setempat. Namun laporan GKPS tersebut ‘berbuah’ penyegelan dengan alasan perizinan. Tampak sekali bahwa Pemkab tunduk pada kelompok intoleran,” ucap Halili lebih lanjut.
Ketiga, SETARA Institute mempersoalkan solusi yang ditawarkan oleh Bupati Anne agar jemaat GKPS beribadat dengan menumpang di gereja lain. Solusi dari Bupati tersebut memprihatinkan.
Di dalam agama Kristen terdapat banyak denominasi dan aliran yang mereka sulit dan tidak dapat bergantian dalam penggunaan satu gereja untuk denominasi atau aliran yang berbeda. Di samping itu, persoalan jarak juga akan menjadi masalah tersendiri bagi jemaat GKPS.
“Hal itu menunjukkan bahwa Bupati tidak mengkaji secara komprehensif persoalan GKPS dan hanya tunduk begitu saja pada tekanan kelompok intoleran,” lanjut Halili.
Keempat, mengingat tidak lama lagi umat Kristiani akan merayakan Paskah 2023, SETARA Institute mendesak Pemkab, dan jika diperlukan Pemerintah Pusat, untuk segera membatalkan penyegelan GKPS dan memfasilitasi penggunaan gereja tersebut untuk peribadatan, sambil memberikan waktu tertentu kepada GKPS untuk menyelesaikan urusan administrasi perizinan.
Kelima, dalam catatan SETARA Institute, Pemkab Purwakarta pada periode sebelumnya di bawah kepemimpin Bupati Dedi Mulyadi menunjukan sikap dan tindakan yang progresif dalam melindungi hak-hak minoritas agama, melindungi kebebasan beragama/berkeyakinan sebagai hak konstitusial warga negara, dan membangun kehidupan berdampingan secara damai dalam kebinekaan (peaceful coexistence).
“Maka, penyegelan GKPS oleh Bupati Anne dalam konteks ini merupakan kemunduran serius dalam perlindungan kelompok minoritas di Purwakarta.” pungkasnya.
Editor : Kartika Indah Kusumawardhani