Menurutnya, jangan sampai banyaknya kementerian atau lembaga negara yang terlibat tersebut hanya menjadi aksesori pemanis namun nihil hasil.
Pasalnya, kata Sayyidatul, bukan hanya korban dan keluarga korban yang akan diciderai dengan harapan palsu, namun masyarakat juga akan dirugikan, mengingat segala pembiayaan yang diperlukan dalam pelaksanaan Tim Pemantau PPHAM bersumber dari APBN.
“Artinya, negara harus memastikan dan menjamin bahwa seluruh kementerian/lembaga yang terlibat dalam Tim tidak hanya menjadi institusionalisasi absurd, namun juga benar-benar substantif dalam memberikan hak atas reparasi,” kata Sayyidatul.
Sementara itu, peneliti senior SETARA Institute yang juga dosen hukum tata negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ismail Hasani mengatakan hal lain yang jauh lebih fundamental adalah hak atas pengungkapan kebenaran (right to truth) dan hak atas keadilan (right to justice).
Hal tersebut sebagai bagian dari konsep transitional justice yang perlu menjadi alerta bagi pemerintah untuk bergegas membangun political will dalam menngusut tuntas pelanggaran HAM berat.
SETARA juga mengingatkan dorongan PBB terhadap Pemerintah Indonesia untuk menguatkan komitmen melawan impunitas serta memaksimalkan upaya dalam pemenuhan keadilan transisional secara komprehensif, terutama terkait right to truth dan right to justice.
Langkah pemutihan pelanggaran HAM berat yang diikuti pengerahan berbagai institusi negara sebagaimana dalam Tim Pelaksana dan Tim Pemantau, kata Ismail akan menjadi babak akhir takaran komitmen Jokowi memenuhi janji Nawacita yang di 2014 dan 2019 menjadi mantra memoles citra dan insentif politik elektoral.
“Paralel dengan instruksi Presiden tersebut, para aktor yang diduga terlibat sejumlah pelanggaran HAM di masa lalu, semakin mulus melenggang melanjutkan karir dan obsesi politiknya menjelang Pemilu 2024,” pungkas Ismail.
Editor : Kartika Indah Kusumawardhani