Green Deal Eropa dan Bayang-Bayang Neo-Kolonialisme Baru

Opini
European Green Deal, kebijakan ambisius yang diluncurkan pada 2019. Foto: Ist

Negara berkembang akan kesulitan mengekspor produknya, kehilangan daya saing, dan akhirnya dipaksa menanggung biaya transisi energi sendirian, sementara negara maju tetap nyaman dalam posisi dominan.

Realitas ini diperparah oleh fakta bahwa krisis iklim sendiri dipicu oleh sejarah panjang industrialisasi Barat. Negara-negara seperti Inggris, Jerman, dan Prancis telah menghasilkan emisi besar sejak abad ke-18. Mereka kini menyuruh negara-negara Global South untuk berhemat karbon, sementara jejak historis mereka sendiri masih meninggalkan luka ekologis.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Sebagai salah satu pengekspor utama batu bara, nikel, kelapa sawit, dan produk pertanian lainnya, Indonesia tentu akan terdampak langsung oleh CBAM dan kebijakan Green Deal lainnya. 

Ekspor ke Eropa bisa terhambat jika tidak memenuhi standar emisi. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menurunkan pendapatan negara, memukul industri dalam negeri, dan memperburuk kesenjangan sosial terutama di daerah yang bergantung pada sektor-sektor tersebut.

Kita juga menghadapi dilema besar: antara memenuhi tuntutan global untuk lebih hijau, atau mempertahankan pertumbuhan ekonomi dengan cara lama. Transisi energi memang penting, tapi tidak bisa instan. Infrastruktur, teknologi, dan SDM kita belum sepenuhnya siap. 

Kalau kita dipaksa terburu-buru oleh tekanan eksternal, hasilnya justru bisa merusak perekonomian nasional dan memperparah ketimpangan domestik.

Editor : M Mahfud

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3 4

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network