Green Deal Eropa dan Bayang-Bayang Neo-Kolonialisme Baru

Opini
European Green Deal, kebijakan ambisius yang diluncurkan pada 2019. Foto: Ist

Sekilas CBAM Tampak Logis

Kalau Eropa membatasi emisi karbon di dalam negerinya, maka masuk akal untuk mencegah perusahaan asing mengimpor barang murah yang diproduksi dengan proses “kotor”. Ini demi mencegah yang disebut carbon leakage yaitu situasi ketika perusahaan hanya memindahkan polusi ke negara lain demi menghindari aturan yang ketat.

Tapi mari kita lihat dari sudut pandang lain. Apakah adil jika negara-negara seperti Indonesia, Vietnam, atau Kenya yang masih dalam tahap membangun infrastruktur dasar harus langsung mengikuti standar tinggi negara-negara maju? 

Apakah Eropa siap membantu proses transisi energi di negara-negara ini? Atau, lebih tepatnya, apakah Eropa hanya ingin mempertahankan keunggulan industrinya lewat tarif hijau?

Pertanyaan-pertanyaan ini penting, karena Green Deal tak hanya menyangkut urusan lingkungan, tetapi juga urusan ekonomi, politik, dan bahkan moral.

Banyak kalangan menyebut ini sebagai bentuk baru dari neo-kolonialisme. Dulu, kolonialisme berlangsung lewat penjajahan langsung. Kini, ia muncul lewat mekanisme dagang, standar internasional, dan regulasi lingkungan yang hanya bisa dipenuhi oleh segelintir negara kaya.

Ambisi Eropa dalam Green Deal seharusnya tidak berdiri sendiri. Dunia berkembang berhak menuntut transfer teknologi, investasi hijau, dan kompensasi iklim yang adil. Jika tidak, kebijakan seperti CBAM justru akan memperdalam ketimpangan global. 

Editor : M Mahfud

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3 4

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network