
JAKARTA, iNews Depok.id – PT Pertamina (Persero) telah mengakuisisi Participating Interest (PI) di 25 blok migas luar negeri yang tersebar di 13 negara dalam dua dekade terakhir. Hal itu dianggap demi menjaga ketahanan energi nasional.
Akuisisi ini dilakukan dengan pembiayaan melalui global bond senilai puluhan miliar dolar AS. Namun, langkah strategis ini memicu kritik terkait transparansi, efektivitas, dan manfaat langsung bagi kebutuhan energi nasional tampaknya gagal.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, mengungkapkan fakta mengejutkan bahwa hingga saat ini produksi minyak dari PI Pertamina di 13 negara tersebut hanya mencapai 156.000 barel per hari (BOPD), jauh dari harapan.
"Informasi mengenai berapa volume minyak dari produksi ini yang dipasok untuk kilang Pertamina sendiri masih sangat tertutup, terkesan Pertamina sudah bertransformasi seperti lembaga intelijen," kata Yusri, Jum'at (7/2/2025).
“Bandingkan dengan Blok Rokan yang diambil alih dari Chevron pada 2018. Dengan biaya USD725 juta untuk signature bonus dan komitmen kerja pasti sebesar USD500 juta selama lima tahun, blok tersebut menghasilkan produksi sekitar 165.000 BOPD,” imbuh Yusri.
Seperti diketahui, PT Pertamina (Persero) mengakuisisi 24,53 persen saham milik Independent Oil and Gas asal Prancis, Maurel and Prom milik Pacifico.
Perseroan telah menandatangani perjanjian jual beli (SPA) dengan Maurel and Prom untuk membeli 24,53 persen saham.
Perusahaan minyak negara ini mengaku, salah satu dari lima pilar Pertamina adalah menguatkan produksi yang ada di upstream. Hal ini guna meningkatkan kedaulatan energi dan mengamankan pasokan dalam negeri. Untuk mencapai semua hal tersebut, Pertamina memulai dengan mengakuisisi 24,53 persen saham Maurel and Prom.
Namun, CERI mengkritik langkah ini karena tidak memberikan kontrol penuh terhadap aset produksi migas tersebut.
“Kami sudah berulang kali mempertanyakan alasan akuisisi ini sejak 2016 hingga 2020, tetapi Pertamina tidak pernah memberikan penjelasan yang memadai. Fakta yang kami dapatkan, PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) justru harus mengikuti tender untuk membeli Rabi Light Crude, minyak mentah yang diproduksi dari aset Maurel and Prom sebesar 600.000 barel setiap bulan,” kata Yusri.
Yusri juga mempertanyakan manfaat dari total produksi 156.000 BOPD dari PI Pertamina di luar negeri. “Berapa persen dari total produksi itu yang langsung dipasok ke kilang Pertamina tanpa mekanisme tender? Pertanyaan ini harus dijawab secara transparan,” tegasnya.
Kontroversi ini semakin tajam setelah laporan hasil audit investigasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap potensi kerugian negara sebesar 60 juta euro atau sekitar Rp1,014 triliun dalam akuisisi Maurel and Prom.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, pada Januari 2024, menyatakan bahwa penyelidikan atas akuisisi sumur minyak di Afrika ini telah lama dilakukan. “KPK bekerja sama dengan BPK telah menyelesaikan audit investigasi dan hasilnya sudah diperoleh,” ujar Alexander, berapa waktu lalu.
Namun, hingga kini, publik masih menunggu pengumuman resmi KPK terkait tersangka dan kronologi dugaan tindak pidana korupsi tersebut, tampaknya prosesnya jalan di tempat.
CERI mengaku telah melayangkan konfirmasi resmi kepada CEO PT Pertamina Internasional EP (PIEP), Jafee A. Suardin, pada 3 Februari 2025, namun hingga 5 Februari 2025 belum ada tanggapan. Surat konfirmasi tersebut juga ditembuskan ke Menteri BUMN, Menteri ESDM, Dirjen Migas, SKK Migas, serta Dewan Komisaris dan Direksi Pertamina Holding.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai arah kebijakan Pertamina dalam menjaga ketahanan energi nasional.
"Jika Kilang Pertamina harus mengikuti mekanisme tender untuk membeli minyak dari aset yang sudah mereka kuasai, apa sebenarnya manfaat dari investasi besar ini?" ujar Yusri.
Dengan defisit minyak nasional yang mencapai satu juta barel per hari, sebagaimana disampaikan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, publik berhak mengetahui sejauh mana investasi Pertamina di luar negeri benar-benar berkontribusi terhadap kebutuhan energi nasional.
Transparansi, akuntabilitas, dan evaluasi menyeluruh atas kebijakan akuisisi PI di luar negeri menjadi kunci untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap perusahaan energi terbesar di Indonesia ini.
Editor : M Mahfud
Artikel Terkait