JAKARTA, iNews Depok.id - Indonesia dihebohkan dengan aksi walk out Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bersama delegasinya saat Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato di KTT D-8 Kairo, Mesir, pada Kamis (19/12/2024). Bukan hanya itu, Erdogan terlihat menyenggol kursi Prabowo.
Insiden itu terjadi saat Prabowo baru saja memulai pidatonya di pertemuan negara-negara Muslim berkembang tersebut.
Prabowo menyentil negara-negara Muslim dalam pidatonya, menyinggung perpecahan antara-sesama pemimpin dan pemerintahan. Di saat yang sama, Palestina membutuhkan bantuan dan kekompakan dari negara-negara Muslim untuk memberikan bantuan.
Saat itu juga, Presiden Erdogan terlihat meninggalkan ruangan atau walk out sambil terlihat menyenggol kursi yang diduduki Presiden Prabowo Subianto.
Menanggapi insiden itu, Juru Bicara (Jubir) Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Roy Soemirat mengatakan apa yang dilakukan Erdogan dengan delegasinya merupakan hal wajar.
Para ketua delegasi melakukan banyak pertemuan pararel saat pertemuan tingkat tinggi internasional, sehingga mengharuskan mereka untuk berpindah ke ruangan lain.
"Sesuatu hal yang lumrah bahwa para ketua delegasi itu melakukan banyak pertemuan paralel pada saat pertemuan internasional, antara lain untuk lakukan pertemuan bilateral dengan ketua delegasi lain di ruangan lain," kata Roy, kepada wartawan, Minggu (22/12/2024).
Sejumlah pihak juga menganggap itu adalah hal wajar, salah satunya Anggota Komisi I DPR Sukamta yang menilai hal itu wajar terjadi, dan bukan sesuatu yang istimewa.
“Dalam forum konferensi internasional, peserta keluar masuk forum itu biasa terjadi. Salah satunya karena biasanya pada saat yang bersamaan juga ada forum-forum paralel seperti bilateral meeting,” kata Sukamta saat diwawancarai, Selasa (24/12/2024).
“Apalagi hubungan Presiden Erdogan dan Prabowo, Turki dan Indonesia bukan hanya baik tapi juga tampak sangat dekat dan akrab. Biasa sajalah melihatnya,” imbuhnya.
Momen keluarnya Erdogan diyakini tidak terkait dengan masalah politik, terutama karena negara-negara lain juga sudah memahami Indonesia merupakan negara bebas aktif dalam politik internasional.
"Indonesia terus mengedepankan prinsip kebebasan aktif dalam hubungan internasional, seperti yang diatur dalam UU No. 37 Tahun 1999," ungkap Sukamta.
Dalam KTT D-8 di Kairo pekan lalu, Presiden Prabowo menyerukan persatuan di antara negara-negara mayoritas Muslim. Terlebih, populasi Muslim di dunia berjumlah dua miliar orang atau sekitar 25 persen dari jumlah penduduk dunia.
Presiden Prabowo juga menegaskan pentingnya kerja sama erat dan satu suara di tengah situasi yang memperlihatkan adanya konflik internal di banyak negara Muslim. Sukamta mendukung pernyataan kuat Prabowo itu karena dapat menunjukkan komitmen Indonesia yang terus berjuang bagi negara muslim seperti Palestina dan Suriah untuk mendapatkan kebebasan atas penjajahan yang mereka alami.
"Peran aktif Indonesia dalam menyuarakan keadilan di forum internasional adalah langkah strategis yang harus terus diperkuat," tuturnya.
Pada KTT D-8, Presiden Prabowo juga menyuarakan pentingnya penghormatan terhadap hukum internasional dan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan isu global lainnya.
"Kami sangat mendukung solidaritas dan kerja sama di antara negara-negara Muslim. Sikap ini sejalan dengan visi Indonesia untuk memperjuangkan keadilan global dan mempererat persaudaraan antarnegara Muslim,” terang Sukamta.
Anggota Komisi di DPR yang mempunyai ruang lingkup tugas di bidang hubungan internasional dan pertahanan itu pun mendukung kritik Presiden Prabowo atas kurangnya penghormatan negara global terhadap resolusi PBB. Terutama, kata Sukamta, terkait dengan isu Palestina, Lebanon, dan Suriah.
“Pesan Presiden Prabowo tentang pentingnya persatuan negara-negara Muslim relevan dalam menghadapi tantangan global, termasuk upaya memecah belah melalui strategi 'divide et impera',” jelasnya.
Sukamta menyoroti konflik berkepanjangan di negara Suriah yang telah menyebabkan lebih dari 500.000 korban jiwa dan jutaan orang terlantar. Ia memandang bahwa stabilitas di Suriah tidak hanya penting bagi kawasan Timur Tengah, tetapi juga bagi perdamaian global.
Dalam hal rekonsiliasi politik global, Sukamta juga menekankan pentingnya bantuan internasional dalam membangun kembali infrastruktur dasar yang hancur akibat konflik. Menurut laporan Bank Dunia, biaya rekonstruksi Suriah diperkirakan mencapai USD 250 miliar.
"Indonesia dapat menjalin kerja sama bilateral di bidang pendidikan, kesehatan, dan perdagangan untuk mendukung proses ini. Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar, Indonesia memiliki peluang besar untuk memperkuat hubungan dengan Suriah," papar Sukamta.
Lebih lanjut, Sukamta mendorong kerja sama ekonomi dan transfer teknologi antarnegara D-8 sebagai langkah untuk meningkatkan kemandirian dan daya saing negara-negara Muslim.
“Kami di DPR RI akan memastikan bahwa kebijakan nasional mendukung komitmen internasional yang telah disampaikan Presiden, khususnya dalam bidang ekonomi, teknologi, dan diplomasi kemanusiaan,” tegasnya.
Melalui momentum KTT D-8, Sukamta berharap Indonesia terus menjadi pelopor dalam memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan kemakmuran bagi negara-negara Muslim.
"Kerja sama strategis antar-negara D-8 diharapkan dapat membawa manfaat nyata bagi masyarakat Indonesia dan dunia Islam," ucap Sukamta.
Menurut Doktor lulusan Inggris ini, peningkatan bantuan sangat dibutuhkan bagi pengungsi Suriah yang hingga kini masih sangat dibutuhkan oleh jutaan rakyat dan pengungsi di negara tersebut. Oleh karenanya, Sukamta menyebut penting bagi Indonesia mengambil bagian dalam aksi kemanusiaan untuk Suriah, sama halnya seperti bantuan bagi Palestina.
"Kita harus menunjukkan solidaritas melalui bantuan logistik dan layanan kesehatan yang lebih terkoordinasi, baik di dalam negeri maupun melalui kerja sama dengan organisasi internasional. Bantuan ini diharapkan dapat meringankan beban jutaan pengungsi, termasuk perempuan dan anak-anak, yang terdampak langsung oleh perang," tutup Sukamta.
Editor : M Mahfud
Artikel Terkait