DEPOK, iNews.id - Anggota DPR dari Fraksi Gerindra, Fadli Zon, meminta pemerintahan Jokowi merevisi Keppres Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara karena dinilai mengandung banyak kesalahan data sejarah.
"Saya sudah baca Keppres No 2/2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara, sebaiknya segera direvisi. Data sejarah banyak yang salah. Selain menghilangkan peran Letkol Soeharto sebagai komandan lapangan, juga hilangkan peran Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Fatal," kata Fadli melalui akun Twitter-nya, @fadlizon, Jumat (4/3/2022).
Sebelumnya, Keppres yang menetapkan tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara itu telah diributkan banyak kalangan karena menghilangkat peran mantan Presiden Soeharto pada peristiwa Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949.
Hilangnya nama Soeharto terlihat pada poin ketiga Keppres tersebut yang bunyinya sebagai berikut :
">Ketiga, bahwa peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman serta disetujui dan digerakkan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan didukung oleh Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, laskar-laskar perjuangan rakyat, dan segenap komponen bangsa Indonesia lainnya, merupakan bagian penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang mampu menegakkan kembali eksistensi dan kedaulatan Negara Indonesia di dunia internasional serta telah berhasil menyatukan kembali kesadaran dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.”
Seperti diketahui, SU 1 Maret 1949 terjadi di Yogyakarta. Serangan ini dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Serangan ini bertujuan untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih ada dan cukup kuat, dengan harapan dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB.
Perundingan tersebut memiliki tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu menjabat sebagai Komandan Brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
Editor : Rohman
Artikel Terkait