Meskipun menghadapi kondisi perbudakan yang keras, komunitas Cape Malay berhasil mempertahankan identitas budaya mereka melalui perpaduan tradisi leluhur, pengaruh lokal, dan elemen Eropa. Setelah penghapusan perbudakan, komunitas ini menghadapi tantangan sosial-ekonomi tetapi terus berkembang, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap keragaman budaya Afrika Selatan.
Hari ini, komunitas Cape Malay tetap dirayakan karena warisan budayanya yang kaya, dengan festival dan acara yang menampilkan budaya yang dinamis dan semangat yang tak tergoyahkan.
Bagi mereka yang mencari wawasan tentang ketahanan dan adaptabilitas budaya Jawa di berbagai konteks, serta pemahaman yang lebih mendalam tentang sejarah komunitas Cape Malay di Afrika Selatan yang sering terabaikan, Sapaan Sang Giri memiliki makna yang mendalam.
Individu seperti jurnalis kelahiran Afrika Selatan, Haydé Adams, yang bersemangat untuk mengungkap narasi tersembunyi dari bangsanya, dan Roberta Joy Rich, seorang seniman keturunan Afrika Selatan yang ingin terhubung kembali dengan warisan Cape Malay-nya saat tinggal di Yogyakarta, menemukan kenyamanan dalam halaman-halaman narasi yang menggugah ini.
Kisah Parto dan Wulan, yang mendapati diri mereka diperbudak di Tanjung Harapan, Afrika Selatan karena ketidakmampuan Parto membayar utang. Foto: Ist
Demikian pula, penemuan Mountains More Ancient - edisi bahasa Inggris dari buku ini - oleh mahasiswa doktoral Universitas Stanford, Mpho Calachan Molefe, menyoroti peran penting buku ini sebagai sumber bagi mereka yang mencari wawasan komprehensif tentang sejarah yang saling terkait antara Afrika Selatan dan Indonesia.
Saat penyelidikan ini bertemu, Sapaan Sang Giri muncul sebagai jalur penting untuk menerangi warisan budaya Jawa yang abadi dan jalinan kaya warisan komunitas Cape Malay.
Putu Oka Sukanta, Penyair dan Penggiat Hak Azasi Manusia mengatakan bahwa dengan Sapaan Sang Giri, Isna Marifa telah memberikan nyawa, menghidupkan, serpihan sejarah penindasan kolonial di tanah Jawa dan Tanjung Harapan, Afrika Selatan. “Novel ini merupakan perpaduan hasil penelitian yang cermat dan garapan sastrawi, sehingga menjadi bacaan yang berbobot dan lancar dibaca,” ujarnya.
Feby Indirani, Penulis 'Bukan Perawan Maria' dan 'Memburu Muhammad' mengatakan: “Selain mengeksplorasi tema yang jarang digarap, Sapaan Sang Giri juga menarik dari segi format, menggabungkan puisi dan prosa untuk mengungkapkan suara dari tokoh-tokoh berbeda. Novel ini penting: mengingatkan kita bahwa sejarah juga terjalin dari kegiatan dan kisah-kisah ‘wong cilik’ yang kesulitan menentukan nasib mereka sendiri.”
Editor : M Mahfud
Artikel Terkait