PURWOREJO, iNews.id – Tokoh NU diharapkan turun ke Desa Wadas untuk mendamaikan warga yang terbelah dan menjurus konflik sosial antara pihak yang pro dan kontra penambangan batu andesit. 100 persen warga Wadas adalah kaum nahdliyin alias warga NU. Antara pihak pro dan kontra, mereka sudah tidak saling tegur sapa selama bertahun-tahun mulai tahun 2016 hingga sekarang.
Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah kini menjadi sorotan nasional. Dalam peristiwa pengukuran lahan untuk lokasi penambangan batu andesit pada 8 Februari 2022, polisi menahan 64 orang guna mencegah konflik horisontal antara warga pro dan kontra. Sehari kemudian mereka dilepaskan kembali.
Batu andesit dari Desa Wadas akan digunakan sebagai bahan pondasi Bendungan Bener. Bendungan yang terletak di Kecamatan Bener ini diklaim akan menjadi bendungan tertinggi di Asia Tenggara.
Atas rencana penambangan batu andesit, masyarakat Desa Wadas terbelah dua. Satu pihak setuju penambangan batu andesit dan pihak lain menentang.
Sikap pro dan kontra ternyata menjalar lebih jauh dan menjurus konflik sosial.
BACA JUGA:
Heboh Desa Wadas di Tingkat Nasional, Ini Biang Masalahnya
“Kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Wadas mengalami kerusakan,” kata Wagimin seorang warga Dusun Kali Gendol, Wadas saat ditemui di Desa Wadas, Senin (14/2/2022).
Menurut Wagimin, warga pro dan kontra tidak saling tegur sapa. Bahkan acara keagamaan, sosial dan budaya dilakukan masing-masing pihak secara sendiri-sendiri.
Lebih parah lagi, kematian seseorang dari pihak satu, pihak lainnya tidak datang melayat, menyolati dan menguburkannya. Demikian juga pada acara pernikahan dari satu pihak, tidak akan didatangi pihak lainnya.
“Situasinya memang seperti itu, sudah sangat memperihatinkan,” terang Wagimin.
Hal senada diungkapkan Syawaludin, warga Dusun Beran, Wadas. “Bahkan ada kejadian mesin motor diisi dengan garam dan pasir. Ini terkait pihak kontra dan pro,” jelas Syawaludin.
Kekacauan tersebut tidak hanya berlangsung berhari-hari tetapi sudah bertahun-tahun. “Perpecahan ini mulai berlangsung dari tahun 2016 hingga sekarang ini, berarti sudah lima tahun,” ungkap Syawaludin.
Pernyataan Wagimin dan Syawaludin dibenarkan Emha Saiful Mujab, tokoh masyarakat Kecamatan Bener yang aktif di Desa Wadas. Emha Saiful Mujab adalah Koordinator Mata Dewa (Komunitas Masyarakat Terdampak Desa Wadas).
“Padahal tadinya Warga Wadas adalah warga yang sangat ramah dan guyub rukun,” ujar Emha Saiful Mujab yang akrab disapa Gus Ipul.
Menurut Gus Ipul, 100 persen warga Wadas adalah kaum nahdliyin alias warga NU. Sebagaimana kaum nahdliyin, mereka gemar silaturahmi dengan bersama-sama mengikuti kegiatan keagamaan, sosial dan budaya.
“Ini sungguh berbahaya dan harus dicarikan jalan keluarnya. Perlu digagas untuk mempertemukan pihak pro dan kontra agar kehidupan kemasyarakatan warga Wadas kembali normal seperti semula,” tutur Gus Ipul.
Gus Ipul bahkan menyoroti kekacauan bahkan terjadi hingga di tingkat keluarga hanya karena beda pandangan. “Ada seorang ibu tidak mendatangi hajatan anaknya gara-gara beda pandangan tentang penambangan batu andesit. Benar-benar parah kerusakan sosial di Desa Wadas,” tambah Gus Ipul.
Sementara itu Amat Marlan, warga Dusun Beran, Wadas yang juga anggota Banser NU Kecamatan Bener mengharapkan tokoh NU untuk turun ke Desa Wadas. Tujuannya untuk mendamaikan dan mempersatukan lagi warga Desa Wadas yang 100 persen adalah warga nahdliyin.
“Tolong tokoh-tokoh NU datang secepat mungkin ke sini. Kami ingin kedamaian kembali di Desa Wadas. Sungguh sangat tidak nyaman hidup bertetangga tidak saling sapa selama bertahun-tahun,” pinta Amat Marlan.
Editor : Mahfud
Artikel Terkait