DPRD Disarankan Bahas Kembali Dugaan Pemborosan Rp 7,04 Miliar di Dinkes DKI

Tim iNews
Pengamat kebijakan publik Sugiyanto. Foto: Facebook

JAKARTA, iNews.id - Pengamat Kebijakan Publik Jakarta, Sugiyanto, menyarankan DPRD DKI Jakarta agar membahas kembali temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi DKI Jakarta tentang pemborosan pada APBD DKI Tahun Anggaran (TA)-2020 yang terjadi di Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta.

"Bahkan bila dianggap perlu dapat melaporkan masalah ini kepada penegak hukum, baik Kepolisian, Kejaksaan atau KPK," katanya melalui pesan WhatsApp, Kamis (10/2/2022).

Pengamat yang akrab disapa SGY itu menjelaskan, pada LHP BPK Tahun 2020 disebutkan ditemukan dua kegiatan pemborosan di Dinkes DKI senilai Rp7.040.908.000 yang dialokasikan untuk pengadaan Rapid Test Covid-19 senilai Rp 1.190.908.000; dan pengadaan Respirator N95 senilai Rp.5.850.000.000. 

"Kepala Dinas Kesehatan DKI Widyastuti memang telah mengatakan bahwa temuan itu akibat kelebihan bayar dan hanya persoalan administrasi, tidak ada kerugian negara," katanya.

Namun, lanjut SGY, ia meminta DPRD membahas kembali anggaran itu karena dari LHP BPK itu diketahui kalau pada tahun anggaran 2020 DKI melakukan refocusing anggaran. Salah satunya adalah Belanja Tak Terduga (BTT) TA 2020. 

Berdasarkan Pergub Nomor 113 Tahun 2020 tanggal 11 Desember 2020 tercatat bahwa realisasi BTT sampai 31 Desember 2020 senilai Rp 5.521.444.220.129 dengan sisa anggaran BTT yang tidak terealisasi Rp 813.506.674.605 atau 14,73%. Seluruhnya digunakan untuk penanggulangan pandemi Covid-19.

Pada pelaksanaan kegiatan yang bersumber dari BTT tersebut, bidang kesehatan di antaranya menggunakan untuk pengadaan 40.000 pieces Rapid Test Covid-19 senilai Rp 9.090.908.000 (tidak termasuk PPN), dan pengadaan 195.000 Respirator N95 senilai Rp 17.550.000.000 (tidak termasuk PPN) dengan jenis kontrak harga satuan. 

Menurut BPK, pemborosan Rapid Test Covid-19 terjadi karena ada dua penyedia jasa dengan merk yang sama dan dengan waktu yang berdekatan, namun dengan harga yang berbeda. 

Penyedia jasa pertama, PT. NPN, yang pekerjaannya selesai pada 12 Juni 2020 untuk pengadaan 50.000 pieces Rapid Test IgG/IgM Rapid Test Cassete (WB/S/P), di mana dalam satu kemasan berisi 25 test cassette merk Clungene dengan harga per unit barang  Rp197.500 (tidak termasuk PPN).  

Sedangkan penyedia jasa Rapid Test kedua, yakni PT. TKM, kontrak pekerjaan selesai pada 5 Juni 2020 dengan jumlah pengadaan sebanyak 40.000 pieces dengan harga per unit barang senilai Rp227.272,70 (tidak termasuk PPN).

Pada LHP BPK disebutkan seharusnya harga satuan Rapid Test PT. TKM sama dengan PT NPN, yakni Rp 197.500, sehingga untuk 40.000 pieces Rapid Test harganya menjadi Rp7.900.000.000, bukan Rp9.090.908. 

"Dengan demikian BPK menjelaskan terjadi selisih (pemborosan) Rp1.190.908.000," jelas SGY.

Tentang pemborosan pengadaan Respirator N95, BPK juga menyebutkan terdapat dua penyedia jasa pengadaan Respirator N95. 

Penyedia jasa pertama, yakni PT. IDS yang sudah tiga kali ditunjuk Dinkes untuk mengadakan Masker N95 Respirator Plus Merk Respokare dengan jumlah total 89.000 pieces (39.000+30.000+20.000). Kontrak pekerjaan terakhir selesai pada tanggal 6 Oktober 2020 dengan harga termurah per unit barang Rp 60.000 (tidak termasuk PPN).

Penyedia jasa Respirator N95 kedua, yakni PT. ALK, yang ditunjuk Dinkes untuk pengadaan 195.000 pieces Respirator N95 Niosh Particulate Respirators Merk/type: Makrite 9500-N95 dengan harga per satuan barang senilai Rp90.000 (tidak termasuk PPN). Pekerjaan selesai pada tanggal 30 Nopember 2020.

"BPK menyebutkan bahwa dari kedua merk respirator, yaitu merk Respokare dan merk Makrite, sama-sama memiliki sertifikasi dari FDA (Food and Drug Administrasion) dan NIOSH (Nasional Institute for Occupation Safty and Health), sehingga sama-sama memenuhi syarat sebagai respirator dengan jenis N95. Dengan demikian menurut BPK dapat disimpulkan bahwa kedua respirator tersebut sama-sama memenuhi kualitas mutu," jelas SGY lagi.

Meski demikian, lanjut salah satu aktivis senior di Jakarta itu, BPK juga menyebutkan adanya selisih harga karena seharusnya harga satuan Respirator N95 PT. ALK sama, yakni Rp60.000, sehingga untuk 195.000 pieces Raspirator (Masker N95) harganya menjadi Rp.11.700.000.000, bukan Rp 17.550.000.000. Dengan demikian BPK menyebutkan terjadi selisih (pemborosan) sebesar Rp5.850.000.000.

Atas hal tersebut, maka total pemborosan dari pengadaan Rapid Test dan Respirator N95 pada Dinkes DKI Jakarta adalah sebesar Rp7.040.908.000.

"Mengingat BPK juga menyebutkan bahwa kondisi pemborosan tersebut tidak sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan PP No 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, maka patut diduga bahwa pemborosan Rp7,04 miliar tersebut dapat dianggap merugikan keuangan negara/daerah pada APBD DKI Jakarta tahun 2020. 

SGY menilai, tidak akan terjadi pemborosan atau dugaan kerugian keuangan negara/daerah  sebesar Rp7,04 miliar bila Dinkes DKI Jakarta mengundang kedua penyedia jasa, baik untuk pengadaan Rapid Test (PT NPN dan PT TKM) maupun pengadaan Respirator N95 (PT IDS dan PT ALK), karena Dinkes bisa mendapatkan harga termurah dengan kualitas yang sama dengan tetap berpedoman kepada ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Karena itu, terkait hal ini, maka sebaiknya DPRD DKI Jakarta dapat membahas kembali masalah ini atau bila dianggap perlu dapat melaporkan masalah ini kepada penegak hukum baik Kepolisian, Kejaksaan atau KPK," tegas SGY.

Editor : Rohman

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network