Agar kekuasaannya tetap terjaga, sang Lurah menunjuk Sekdes yang sudah tua dan sakit sebagai penggantinya, dengan syarat harus mengangkat anaknya yang baru lulus SMA sebagai Sekdes berikutnya. Aturan pun diubah demi kepentingan sang Lurah dan kelompoknya.
Yudhi Soenarto, sutradara pertunjukan ini, menjelaskan bahwa tokoh Lurah Koplak merupakan simbol dari pemimpin yang rela melakukan apapun demi mempertahankan kekuasaannya. Dia menyampaikan pesan bahwa ada masalah dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia yang masih terikat dengan transaksi finansial.
Menurut Yudhi, demokrasi seharusnya bukan tentang pembayaran atau pertukaran uang, karena jika hal tersebut terjadi, bukan lagi demokrasi, melainkan lebih mirip perdagangan.
Sumber inspirasi cerita ini datang dari fenomena demokrasi yang terjadi di sekitar masyarakat. Harapannya, pertunjukan ini bisa menyadarkan publik bahwa demokrasi sejati bukanlah tentang memberi atau menerima uang.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait