Petrus mengungkapkan, di sini Hakim MK sudah keluar dari prinsip kebebasan Hakim bahkan bertindak sewenang-wenang karena menyatakan ketentuan pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) tidak berlaku bagi Hakim Konstitusi, hanya demi mengamankan Putusan Perkara No.90/PUU-XXI/2023, tgl 16/10/2023.
Artinya Hakim Konstitusi bisa sewenang-wenang mengeluarkan Pertimbangan Hukum, sebagaimana dapat dibaca dalam putusan MK No. 141/PUU-XXI/ 2023, tanggal 23/11/ 2023, yaitu memberikan imunitas semu bagi Hakim Konstitusi untuk tidak dipidana manakala terbukti melakukan tindak pidana terkait dengan perkara yang sedang dia adili termasuk jika berada dalam lingkaran conflict of interest.
“Hal lain yang aneh adalah Pertimbangan Hukum Putusan No. 141/PUU-XXI/2023, bahwa MK tidak mungkin menerapkan pasal 17 ayat (7) UU No.48 Tahun 2009, karena ketentuan pasal 45 ayat (4) dan pasal 66 ayat (3) PMK No. 2 tahun 2021, yang mewajibkan Majelis Hakim bersidang dengan komposisi 9 atau sekurang-kurangnya 7 Hakim Konstitusi,” lanjut Petrus.
Petrus menuturkan, pandangan bahwa Hakim MK bersidang dengan sekurang-kurangnya 7 Hakim, sebetulnya MK telah mengantisipasi kemungkinan ada Hakim Konstitusi yang harus mundur dari perkara yang sedang disidangkan manakala ia berkepentingan atau memiliki conflict of interest.
“Sehingga cukup dengan mengundurkan diri dari persidangan, maka persidangan bisa dilakukan cukup dengan sekurang-kurangnya 7 orang Hakim Konstitusi,” ujarnya.
Menurut Petrus, Peraturan MK No.2 Tahun 2021 harus dipandang sebagai upaya mengantisipasi kemungkinan Hakim MK, sewaktu-waktu berada dalam posisi memiliki conflict of interest sebagaimana dialami Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam Perkara No.90/PUU-XXI/2023, maka cukup dengan Anwar Usman mundur dari persidangan maka skandal Nepotisme itu tidak akan terjadi.
Editor : Kartika Indah Kusumawardhani
Artikel Terkait