LBM Eijkman Dibubarkan, Ini Pendapat Guru Besar Sosiologi NTU Singapura

Tim iNews
Gedung LBM Eijkman di kawasan Salemba, Jakarta Pusat. Foto: Sindonews

JAKARTA, iNews.id - Pembubaran Lembaga Biologi Molekular (LBM) Eijkman oleh pemerintah dengan cara melebur lembaga itu ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), tengah menjadi perbincangan publik.

Pasalnya, lembaga yang didirikan pada tahun 1888 dengan nama Geneeskundig Laboratorium, dan pada 19 September 1995 resmi berganti nama menjadi LBM Eijkman itu telah memberikan kontribusi signifikan sejak era penemuan vitamin di awal abad ke-19 hingga analisis DNA teroris di abad modern.

Lembaga itu bahkan saat ini sedang bekerja sama dengan PT Bio Farma untuk mengembangkan Vaksin Merah Putih yang akan menjadi vaksin Covid-19 pertama yang 100% buatan Indonesia.

Pembubaran LBM Eijkman ini juga mendapat perhatian dari Guru Besar Bidang Sosiologi Bencana Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Sulfikar Amir. Melalui akun Twitter pribadinya, @sociotalker, Sulfikar memberikan pandangananya tentang pembubaran lembaga tersebut.

"Sebenarnya "drama" yang terjadi di @eijkman_inst cuma salah satu dari semua kekacauan yang sedang unfolding di @brin_indonesia saat ini. Apa sih sebenarnya yang terjadi? Kenapa bisa terjadi? Ujungnya kemana? So, guyz, let me explain what's really going on to shed some light, and i will try to explain the whole thing AS FAIR AS POSSIBLE sebagai “orang luar” yang pernah dan sedang meneliti tentang politik teknologi di Indonesia," katanya seperti dikutip, Rabu (5/1/2022).


Guru Besar Sosiologi Bencana NTU, Singapura. Sumber: Twitter

Sulfikar menjelaskan kalau situasi di Eijkman sebenarnya telah pernah ia angkat tiga bulan lalu, tepatnya pada 16 Oktober 2021, karena kala itu ia telah mengabarkan kalau sedang terjadi kekacauan birokrasi di lemba-lembaga penelitian yang akan dilikuidasi dengan dilebur ke BRIN, termasuk Eijkman yang sedang mengembangkan vaksinmerput (Vaksin Merah Putih). 

"Eijkman akan segera pergi, mengakhiri 30 tahun sejarahnya dalam penelitian biologi molekuler," kata dia kala itu.

Sulfikar mengakui kalau ending dari kekacauan birokrasi itu memang menyedihkan.

"But let’s draw a big picture to understand why this is happening (Tapi mari kita menggambar sebuah gambaran besar untuk memahami mengapa hal ini terjadi)," sambungnya.

Menurut dia, kekacauan birokrasi itu inti sebenarnya adalah “ekosistem riset dan inovasi” di Indonesia. 

"Prof Yanuar Nugroho udah menjelaskan konsep ini dengan brilian di kanal YouTube Beliau, gw mau mulai dari sejarah ekosistem ini, yakni era Prof Habibie who was in charge to build +62’s technological capability (yang bertanggung jawab untuk membangun kemampuan teknologi +62)," katanya.

Menurut Wikipedia, LBM Eijkman pernah ditutup pada tahun 1960-an akibat pergolakan ekonomi dan politik di dalam negeri, dengan cara digabungkan dengan Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM).

Kemudian, saat BJ Habibie menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi, pada Juli 1992 dia menghidupkan kembali LBM Lembaga Eijkman, akan tetapi baru mulai beroperasi kembali pada April 1993. Pada 19 September 1995, nama LBM Eijkman sah digunakan setelah diresmikan Presiden Soeharto.

Sulfikar mengatakan, Habibie membangun ekosistem riset dan inovasi yang kokoh selama 30 tahun, terhitung sejak 1970-an hingga 1990-an, karena Habibie dekat dengan Presiden Suharto, sehingga Habibie mendapatkan dukungan pendanaan dan politik yang hampir tanpa batas.

"Makanya sukses berat," kata Sulfikar.

Menurut dia, salah satu kunci keberhasilan Habibie adalah karena dia memiliki akses untuk menguasai BUMN berbasis teknologi untuk dijadikan BUMN strategis untuk penerapan hasil inovasi dan teknologi. 

"Pasca reformasi, seluruh proyek strategis di bawah komando Habibie juga kolaps. BPIS dibubarkan, BPPT mengecil pengaruhnya, Kemenristek kehilangan kekuataan politik. Akhirnya, semua badan riset jadi kayak anak ayam kehilangan induk. Gak jelas arahnya," kata dia.

Konsekuensi dari hal itu, kata Sulfikar, produktivitas inovasi menurun karena budget riset ikut berkurang. Di sisi lain, hasil riset yang ada juga tidak terpakai karena kendala diskoneksi dengan industri. Ini berlangsung sejak awal 2000-an hingga sekarang. 

"Inilah yang mau dibenahi oleh pemerintah Jokowi," katanya.

Lalu, lanjut Sulfikar, munculah ide untuk menyatukan semua badan dan entitas riset yang ada di Bumi Nusantara dalam satu badan terpusat yang bernama BRIN. Asumsinya, badan super agency ini bakal punya otoritas penuh untuk menyinkronkan kegiatan riset secara efektif agar dapat mencapai tujuan nasional.

"Dari mana sih konsep BRIN ini? According to Prof @najib_lipi, ini usulan dari para professor riset. Artinya, dari dalam komunitas peneliti sendiri yang kemudian difasilitasi oleh Bu Megawati (ketua umum PDIP, red)," jelasnya.

Ia menjelaskan, lembaga super agency seperti BRIN juga ada di beberapa negara, salah satunya di Jepang yang bernama JSTA (Japan Science and Technology Agency) yang berada di bawah MEXT (Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology), dan A*STAR di singapura yg membawahi lusinan pusat penelitian yg terbagi atas dua ketagori, yakni biomedikal dan rekayasa. A*STAR di bawah Kementerian Dagang dan Industri.

Meski demikian diakui, jika dibandingkan JSTA dan ASTAR, BRIN lebih powerful karena setingkat menteri yang otonom dan langsung melapor ke presiden.

"Apakah itu bagus?? hmmm….belum tentu juga. Gw justru khawatir bahwa BRIN akan mengulang apa yang dilakukan Pak Habibie: membangun a new bureaucratic empire yang ujung-ujungnya bisa mengidap sindrom IBM: organisasi kegemukan, tidak efisien, koordinasi lamban, dsb," kata Sulfikar.

Ia menjelaskan, BRIN agak berbeda dengan JSTA dan A*STAR yang berfungsi sebagai badan koordinasi dan institut yang ada di bawahnya bersifat otonom karena bisa mengatur rencana sendiri, punya resources sendiri, dan bisa merekrut manpower secara lebih bebas. Sedang BRIN semuanya terpusat.

Dari hasil polling Sulfikar di akun Twitter-nya terungkap bahwa 66,1% responden meyakini kalau BRIN akan menjadi lembaga yang lebih buruk dari lembaga sebelumnya, sementara 24% menyatakan sama saja, dan hanya 9,9% yang menyatakan kalau BRIN akan lebih baik dari lembaga sebelumnya.

Menurut Sulfikar, LBM Eijkman seharusnya tidak dilebur dan dibiarkan otonom, baik sebagai lembaga pemerintah atau lembaga non-pemerintah, atau hybrid (private-public partnership), karena sejak awal Eijkman memiliki trayektori yang berbeda dengan badan riset yang lain. 

Selain itu, Eijkman relatif sudah bisa mandiri dengan grant dari luar, dan sudah punya reputasi internasional. 

"Dilebur ke BRIN justru (memicu) auto-punah sistem yg sudah kebangun bertahun-tahun," katanya.

Untuk diketahui, pembubaran LBM Eijkman kabarnya membuat 120 dari 160 ilmuwan dan staf pendukung kehilangan pekerjaan, karena hanya 40 ilmuwan dan staf di Eijkman yang berstatus PNS dan akan diterima di BRIN. 

Editor : Rohman

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network