get app
inews
Aa Text
Read Next : Petualangan Antimainstream Menanti! Terbang Murah ke Nairobi dengan AirAsia Mulai Rp3,6 Juta!

Dulu Memang Mahal! Kini Harga Obat di Indonesia Terjangkau, Ini Sebabnya

Jum'at, 14 November 2025 | 17:42 WIB
header img
Direktur Eksekutif GPFI, Drs. Elfiano Rizaldi dalam dialog interaktif kesehatan: Kontribusi Industri Farmasi Nasional dalam Mewujudkan Kemandirian Obat Indonesia, Kamis (13/11/2025) di Jakarta. Foto: Novi

JAKARTA, iNews Depok.id –Dulu harga obat di Indonesia relatif mahal. Namun kini harganya sudah terjangkau berkat sejumlah terobosan. 

Selama ini, isu tingginya harga obat di Indonesia, bahkan disebut 3 hingga 5 kali lipat lebih mahal dari negara tetangga, menjadi momok yang membebani masyarakat.

Namun, narasi tersebut kini dianggap tidak lagi relevan berkat kolaborasi strategis antara Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

GP Farmasi, melalui seminar dalam rangka Hari Kesehatan Nasional, Kamis (13/11/2025) di Jakarta, menegaskan komitmennya untuk memperkuat ketahanan kesehatan nasional melalui Prinsip 4K: Ketersediaan, Keterjangkauan, Kualitas, dan Kemandirian obat produksi dalam negeri.

Dalam seminar tersebut, Direktur Eksekutif GPFI, Drs. Elfiano Rizaldi, mengungkapkan bahwa data IQVIA Kuartal II tahun 2025 menunjukkan 85 persen obat yang dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah obat generik produksi dalam negeri yang harganya terjangkau.

"Isu mengenai tingginya harga obat di Indonesia, sudah tidak lagi relevan, karena mayoritas obat yang digunakan masyarakat atau sekitar 85 persen, merupakan obat generik dengan harga terjangkau. Industri farmasi nasional telah membuktikan bahwa obat berkualitas, tidak harus mahal," jelas Drs. Elfiano Rizaldi.

Penurunan harga ini bukan kebetulan. GPFI mencatat harga obat di Indonesia telah turun hingga 50 persen selama sepuluh tahun terakhir, dicapai melalui peningkatan efisiensi produksi, perbaikan sistem distribusi, dan dukungan kebijakan pemerintah.

Keraguan terhadap kualitas obat generik nasional juga dipatahkan. Penelitian kolaboratif dari Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Imperial College London, dan Erasmus University Rotterdam menunjukkan bahwa hampir seluruh dari 1.274 sampel obat generik lokal memenuhi standar mutu farmakope internasional.

Prof. Dr. apt. Yusi Anggraini, M.Kes, Co-Principal Investigator penelitian, menekankan, "Perbedaan harga tidak selalu mencerminkan perbedaan kualitas. Sebagian besar obat generik dalam negeri sudah memenuhi standar mutu tinggi dan aman digunakan masyarakat."

Kualitas yang terjamin ini merupakan hasil dari kepatuhan ketat industri farmasi terhadap standar BPOM dan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik).

Keberhasilan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjadi faktor kunci lain. Dengan cakupan lebih dari 98% penduduk (sekitar 281,8 juta jiwa per September 2025), JKN menjadikan biaya layanan kesehatan di Indonesia termasuk yang paling efisien di kawasan ASEAN.

Di sisi industri, kolaborasi yang solid dengan Kemenkes dan BPOM telah menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kemandirian produksi obat tertinggi di ASEAN, dimana lebih dari 82 persen kebutuhan obat nasional telah dipenuhi oleh industri dalam negeri.

Meski kemajuan telah dicapai, tantangan bergeser. Ketua Umum GPFI, Tirto Koesnadi, menyoroti pentingnya menjaga keberlanjutan industri.

"Tantangan terbesar Indonesia bukan lagi menurunkan harga, tetapi menjaga keberlanjutan sistem farmasi nasional agar tetap kuat dan berdaya saing," tegas Tirto Koesnadi.

Harga obat yang terlalu rendah, tanpa kebijakan yang seimbang, berisiko mengganggu kelangsungan industri. Oleh karena itu, GPFI mengajukan empat langkah kebijakan konkret kepada pemerintah:

Kajian Harga Obat untuk manfaat langsung pasien.

Jalur Cepat (Fast Track) BPOM untuk penyesuaian izin edar akibat dinamika pasokan global.

Keberlanjutan Program SatuSehat untuk memantau ketersediaan obat real-time.

Resep Rawat Jalan di Apotek untuk menciptakan harga yang lebih kompetitif dan memberdayakan ekonomi lokal.

Dengan kontribusi ekonomi mencapai sekitar Rp143 triliun pada tahun 2024, industri farmasi nasional siap menjadi penggerak ekonomi, sejalan dengan Visi Indonesia Emas 2045. Kuncinya adalah koordinasi dan kolaborasi berkelanjutan antara pemerintah dan pelaku industri untuk menjaga keseimbangan antara 4K: Ketersediaan, Keterjangkauan, Kualitas, dan Kemandirian.

Editor : M Mahfud

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut