get app
inews
Aa Read Next : Cegah Polarisasi di Tahun Politik, BNPT Ajak Parpol Perkuat Wawasan Kebangsaan Konsituennya

SAMI Minta BNPT Waspadai 3 Ideologi Anti Pancasila Ini Daripada Ributkan Ceramah Ulama

Rabu, 09 Maret 2022 | 12:14 WIB
header img
Juju Purwantoro. Foto: Sindonews

JAKARTA, iNews.id - Serikat Advokat Muslim Indonesia (SAMI) menyesalkan tindakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang merilis lima kriteria ulama atau penceramah radikal.

"Dengan telah dirilisnya lima kriteria ulama atau 'penceramah radikal' oleh BNPT, justru  berpotensi membuat kegaduhan (kontroversi) dan ketidakpastian hukum di masyarakat," kata Sekjen SAMI Juju Purwantoro melalui siaran pers-nya, Rabu (9/3/2022).

Menurut dia, kriteria pertama BNPT yang menyebut bahwa penceramah radikal adalah penceramah yang menyampaikan tentang anti-Pancasila dan ideologi khilafah, tidak tepat.

Pasalnya, jelas Juju, apa yang disampaikan ulama tidak jadi masalah sepanjang sesuai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, dan makna ajaran Islam (amar ma' ruf nahi munkar) berdasar Al Quran dan hadist Rasul.

Ia mengkritik BNPT karena ideologi-ideologi yang seharusnya diwaspadai dan diingatkan kepada masyarakat tentang bahayanya, justru seperti tak disentuh, bahkan seperti mendapat ruang dan dapat tumbuh subur, meski ketiga ideologi itu a-Pancasilais.

Ideologi yang dimaksud adalah komunisme, liberalisme dan kapitalisme.

"Liberalisme dan ekonomi kapitalis yang a-Pancasilais, yang seharusnya menjadi perhatian, faktanya justru terindikasi semakin tumbuh dengan sistim birokrasi yang dikuasai oligarki. Hal itu juga yang menyebabkan ambruknya sistem ekonomi rakyat," katanya.

Soal makna kepemimpinan yang berdasarkan syariat Islam atau khilafiah, menurut Juju, ajaran islam sudah terang benderang dengan adanya  'Ijtima ulama' (2021), juga dengan terbitnya fatwa MUI, agar masyarakat dapat memahami makna 'khilafiah' untuk tidak dipandang negatif, karena ajaran Islam bertujuan untuk kedamaian dan kesejahteraan bangsa. 

Juju juga mengkritik kriteria kedua hingga kelima ulama atau penceramah radikal versi BNPT.

Kriteria kedua, yakni ulama yang mengajarkan paham takfiri (mengkafirkan pihak lain yang berbeda agama atau paham),  menurut dia seharusnya dipahami bahwa ajaran Islam memaknai 'takfiri' sebagai mereka yang beragama lain (non-Islam) memang disebut kafir. 

"Sepanjang istilah tersebut tidak untuk saling mengolok-olok pihak lainnya, maka itulah definisinya," jelas dia.

Kriteria ketiga BNPT bahwa penceramah radikal adalah mereka yang menanamkan sikap anti-pemimpin atau pemerintahan yang sah dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian (hate speech), dan menyebarkan berita bohong (hoax),  menurut Juju, terhadap mereka yang melakukan hal tersebut tentunya hukum harus ditegakkan dan dijatuhkan sanksi tegas kepada mereka secara adil (equality before the law) dan profesional.

Untuk kriteria keempat penceramah radikal menurut versi BNPT, yakni penceramah yang memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas), menurut Juju, Islam yang benar justru mengajarkan sikap- sikap yang sebaliknya dengan kriteria tersebut.

Untuk kriteria terakhir atau kelima tentang penceramah radikal menurut versi BNPT, yakni penceramah radikal biasanya memiliki pandangan anti-budaya atau anti-kearifan lokal keagamaan.

Menurut Juju, sesungguhnya ajaran Islam tidak menentang budaya lokal sepanjang tidak berimbas pada kekufuran dan sesuatu yang diharamkan Allah SWT.

Juju mengingatkan BNPT agar jangan sampai karena kelima kriteria itu, Indonesia set back (mundur) ke era Orde Baru yang dengan gampang memberikan label dan stigma radikal (teroris), meski tidak melulu menyasar ulama dan Islam.

"Rezim Orba represif untuk membungkam rakyat yang kritis dan menentang  otoriterianisme,  sistem pemerintahan yang dianutnya, walau melanggar HAM," katanya.

Juju yang berprofesi sebagai advokat ini juga mengingatkan BNPT bahwa hukum pidana memiliki asas tegas (lex stricta) atau tegas, ketat dan tanpa analogi. 

"Dengan demikian BNPT tidak harus melulu intervensi urusan ulama dan agama yang bukan domainnya, karena dengan gampangnya mengaitkan isu- isu radikalisme. Sebaiknya, BNPT sebaiknya lebih fokus pada fungsi dan tugasnya untuk mengantisipasi dan menangani tindak kejahatan terorisme  yang sebenarnya, sesuai UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang   Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme," kata dia.

Juju juga menantang BNPT untuk memberantas kelompok separatis dan kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang telah dilabeli teroris oleh pemerintah. 

"Kelompok separatis dan teroris di Papua lebih prioritas membutuhkan penanganan serius, karena sering memakan korban jiwa," katanya.

Untuk diketahui, BNPT merilis lima kriteria ulama atau penceramah radikal karena menurut Direktur Pencegahan BNPT Jenderal Ahmad Nurwakhid,  agar  masyarakat lebih selektif dalam memilih penceramah saat mengisi kegiatan keagamaan.

Sebab, kata dia, radikalisme adalah paham yang menjiwai aksi terorisme yang terjadi selama ini.

“Sejak awal kami (BNPT) sudah menegaskan bahwa persoalan radikalisme harus menjadi perhatian sejak dini, karena sejatinya radikalisme adalah paham yang menjiwai aksi terorisme. Radikalisme merupakan sebuah proses tahapan menuju terorisme yang selalu memanipulasi dan mempolitisasi agama,” katanya seperti dilansir dari Antara, Senin (7/3/2022).

Seperti diketahui, saat ini banyak kalangan, di antaranya Mayjen (purn) TNI Kivlan Zen dan Ustaz Alfian Tanjung, yang curiga kalau paham komunis yang di era Orde Lama berkibar melalui Partai Komunis Indonesia (PKI), sedang bangkit lagi di era pemerintahan Jokowi.

Indikasinya adalah terbitnya RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang ingin mengganti Pancasila dengan trisila dan ekasila yang menghebohkan pada tahun 2020 lalu, sehingga RUU itu dicabut dan diganti dengan RUU BPIP; ditangkap dan dipenjaranya Ustad Alfian Tanjung yang mengungkap dugaan kebangkitan PKI; dan terjadinya serangan-serangan terhadap Islam yang demikian masif, yang belum pernah terjadi pada era pemerintahan sebelumnya.

Serangan itu antara lain berujung pada dibubarkannya Front Pembela Islam (FPI) karena dicap sebagai Ormas radikal, dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dicap sebagai Ormas berbahaya karena mengusung khilafah.

Pemerintah, antara lain melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), telah membantah kecurigaan tentang kebangkitan PKI itu.

"Enggak ada ditemukan (gerakan PKI kembali hidup). Kalau Pak Kivlan menyatakan hal tersebut, silakan tanya Beliau," ujar Tjahjo Kumolo pada 3 Juni 2016, saat masih menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Editor : Rohman

Follow Berita iNews Depok di Google News Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut