Begitu beratnya kehidupan masa kecil, tak jarang Imam dan keluarganya harus makan nasi yang dicampur dengan garam.
Sebagai sopir taksi, pendapatan ayahnya pas-pasan. Bahkan tak jarang, pendapatannya dipalak preman. Kehidupan jalanan di ibu kota waktu itu memang sangat keras.
Itu semua membuat Imam harus menerima keadaan. Untuk bisa sampai ke sekolah, Imam pun tak mampu membayar biaya angkot yang murah. Tak heran, Imam harus jalan kaki menuju sekolah termasuk ketika di SMAN 3 Jakarta.
”Keminderan saya luar biasa karena rata-rata siswa SMAN 3 Jakarta berasal dari kelas menengah ke atas,” tutur Imam.
Di SMAN, Imam mulai berorganisasi dengan bergabung Rohis (Rohani Islam). Berbagai pengajian Rohis membuat Imam lebih percaya diri. Islam mengajarkan bahwa Allah SWT hanya melihat ketakwaan, bukan harta dan kedudukan.
Semakin dewasa, tuntutan ayahnya terhadap Imam pun semakin kuat untuk membantunya. Ayahnya kerap mendapat order mengecat mobil.
”Saya harus amplas dempul, memompa ban. Itu mobil harus selesai. Kalau tidak, ya keluarga bisa tidak makan,” ujar Imam mengenang masa lalunya.
Usai tamat SMA, Imam melanjutkan kuliah di Fakultas Teknik UI. Semasa kuliah ini, Imam semakin getol berorganisasi di bidang keagamaan. Langkah ini yang kemudian mengantarkan Imam menjadi politisi di Kota Depok dengan bergabung Partai Keadilan yang kini bernama Partai Keadilan Sejahtera.
Editor : M Mahfud