DEPOK,iNewsDepok.id- Angka perceraian di Indonesia tahun 2022 mencapai 516.334 kasus. Jumlah tersebut didapat dari laporan Biro Pusat Statistik Indonesia 2023. Jumlah tersebut adalah yang tertinggi selama enam tahun terakhir.
Gugatan cerai lebih banyak datang dari pihak isteri. Informasi dari para psikolog perkawinan, kasus perceraian lebih banyak terjadi pada pasangan muda, generasi milenial yang berusia sekitar 30-40an tahun. Alasan perceraian, lebih banyak karena sudah kehilangan ‘rasa’, mereka merasa tidak berbahagia, sehingga hidupnya tidak berkualitas.
Psikolog dari Yayasan Psikologi Unggulan Indonesia ( YPUI), Dharmayati Utoyo Lubis mengatakan, rasa adalah cinta yang mempunyai multi facet, yaitu cinta, kasih sayang, romantis, bergelora, rasa yang membuat bahagia, senang, caring, dekat melekat, altruistic, membuat tenang dan damai. Cinta meliputi tiga komponen, yaitu intimacy, commitment dan ketertarikan.
“Romantisme dalam perkawinan biasanya tidak berlangsung lama , sehingga bila perkawinan tidak dijaga dan dipupuk. Maka rasa atau cinta itu bisa berangsur-angsur menghilang. Proses ini disebut proses disaffection. Pasangan milenial biasanya sama sama sibuk bekerja , mengejar ambisi, sehingga sudah larut dalam rutinitas pekerjaannya dan tanggung jawab serta kewajiban keluarganya,” katanya, Minggu (8/10/2023).
Dalam kondisi demikian, bila ada perasaan kecewa terhadap pasangan yang tidak sesuai dengan harapan dan kebutuhannya, maka mereka sering saling kritik, mencari kesalahan juga timbul rasa sedih, rasa jauh, rasa hambar ataupun rasa marah. Namun di tahap awal ini masih ada motivasi untuk memperbaiki hubungan .
“Lama kelamaan, bila tidak berhasil, akan timbul rasa apatis dan mulai merasa asing terhadap pasangannya. Pada tahap ini, pasangan pun masih berusaha untuk meminta nasehat teman maupun keluarga, atau berkonsultasi pada psikolog perkawinan,” ujarnya.
Namun, pada tahap akhir bila usaha perbaikan tidak berhasil,maka sudah timbul rasa muak, semakin hilang rasa percaya bahkan juga hilang respek dan kepedulian pada pasangannya. Perasaan semakin jauh, dan tidak ada komunikasi. Akhirnya keputusan untuk bercerai sudah semakin kuat. Proses ini bisa berjalan selama sekitar dua tahun.
“Padahal bercerai itu sebenarnya adalah keputusan yang berat, sesuatu yang traumatis, karena setelah benar benar bercerai, akan timbul perasaan kesepian, perasaan kehilangan, perasaan gagal bahkan bisa sampai depresi. Perlu penyesuaian kembali dalam hidup baik secara lahir maupun batin,” tukasnya.
Menurut Dharmayati, hal ini tidak mudah, terlebih lagi karena di Indonesia perkawinan bukan hanya antara dua orang, tapi juga antara dua keluarga. Dari catatan psikolog perkawinan, alasan perceraian bermacam macam, seperti merasa tidak cocok, tidak ada komunikasi, adanya perselingkuhan, KDRT, minum alkohol, narkoba, judi ataupun kebutuhan pribadi yang tidak terpenuhi dan adanya beban masa lalu masing masing.
“Bila mereka bersepakat untuk memperbaiki dan melanjutkan perkawinan mereka,maka diperlukan motivasi yang kuat untuk menjalaninya, perlu saling menyesuaikan diri kembali. Mereka harus kembali ke tujuan awal perkawinan mereka,” ungkapnya.
Mereka perlu menyadari bahwa mereka masing masing tumbuh dan berkembang. Sehingga bisa saja terjadi perubahan pada kebiasaan bahkan pandangan hidup masing masing. Untuk ini dibutuhkan kejujuran dan keterbukaan serta penerimaan atas perubahan tersebut.
“Untuk menjaga kelanggengan perkawinan, tiap pasangan perlu untuk secara berkala melakukan marital check up. Yaitu untuk bersama sama secara jujur dan terbuka melakukan introspeksi, apakah ada harapan ataupun kebutuhan yang tidak terpenuhi setelah menjalani perkawinan sekian lama, apakah perkawinan mereka sudah berjalan seperti yang mereka harapkan, sesuaikah dengan tujuan awal perkawinan,” ujarnya.
Selain itu, merekapun perlu sekali-sekali keluar dari rutinitas dengan pergi berdua saja, mengulang pengalaman pengalaman romantis mereka sehingga perkawinan mereka terasa segar kembali. Akhirnya, faktor terpenting dalam suatu perkawinan adalah adanya komunikasi yang baik. Dalam arti saling mendengar dengan hati, memperjelas dan mengklarifikasi segala sesuatu sesuai dengan yang dimaksud agar tidak ditafsirkan berdasarkan persepsinya sendiri.
“Pasangan dalam perkawinanpun harus selalu saling berkoordinasi, selalu kompak, bekerjasama, akomodatif, saling kompromi, bersikap positif terhadap pasangannya, selalu memberi dukungan emosional, saling percaya, saling respek, dan selalu mau menyelesaikan setiap konflik,” pungkasnya.
Editor : Rinna Ratna Purnama